17 Agustus 2009

MANAJEMEN SYOK

Syok adalah suatu keadaan hipoperfusi organ yang mengakibatkan disfungsi dan kematian seluler. Mekanisme ini mencakup terjadinya penurunan volume sirkulasi, penurunan curah jantung, dan vasodilatasi, yang terkadang menyebabkan terbentuknya shunt pada anyaman-anyaman kapiler. Gejalanya antara lain perubahan status mental, takikardi, hipotensi, dan oliguria. Penegakan diagnosis secara klinik melalui pengukuran tekanan darah. Penanganannya dengan pemberian cairan intravena, koreksi terhadap penyakit dasar, dan terkadang dibutuhkan vasopressor.

PATOFISIOLOGI
Defek mendasar yang terjadi pada syok adalah penurunan perfusi pada organ-organ vital. Sekali terjadi penurunan perfusi maka kadar oksigen tidak adekuat untuk metabolisme aerobik, sehingga sel-sel akan melakukan metabolisme anerobik disertai peningkatan produksi CO2 dan akumulasi asam laktat. Fungsi seluler mengalami penurunan, dan jika kondisi syok menetap, dapat terjadi kerusakan sel yang ireversibel bahkan kematian sel.
Selama fase syok, akan terjadi perangsangan pada kaskade faktor-faktor inflamasi dan faktor-faktor pembekuan pada daerah yang mengalami hipoperfusi. Sel-sel endotel vaskular yang hipoksik akan mengaktifkan leukosit, yang akan terikat pada endotel dan secara langsung melepaskan substansi-substansi litik (seperti O2 reaktif dan enzim-enzim proteolitik) dan mediator-mediator peradangan (sitokin, leukotrin, tumor necrosis factor (TNF)). Beberapa mediator ini terikat pada reseptor-reseptor di permukaan sel dan mengaktifkan faktor nuklear Kappa B (NFkB), yang pada akhirnya akan merangsang produksi sitokin tambahan dan nitrit oksida (NO), suatu vasolidator yang poten. Syok septik dapat lebih bersifat proinflamatori dari bentuk-bentuk syok lainnya karena adanya peran toksin bakterial, khususnya endotoksin.
Vasodilatasi pada pembuluh darah vena menyebabkan terjadinya bendungan darah dan hipotensi akibat hipovolemia relatif. Vasodilatasi lokal dapat menyebabkan terbentuknya shunt pada anyaman-anyaman kapiler, menyebabkan hipoperfusi fokal meskipun curah jantung dan tekanan darah dalam batas normal. Selain itu, kelebihan NO diubah menjadi peroksinitrit, suatu radikal bebas yang merusak mitokondria dan menurunkan produksi ATP.
Aliran darah ke kapiler-kapiler darah berkurang meskipun aliran darah pada pembuluh darah besar telah berkompensasi pada kondisi syok septik. Obstruksi mekanik pada pembuluh-pembuluh darah kecil dapat membatasi transport substansi tertentu ke jaringan. Leukosit dan platelet melekat pada endotel, dan sistem pembekuan darah teraktivasi melalui pembentukan fibrin.
Selama terjadi disfungsi sel endotel, berbagai mediator secara bermakna meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, sehingga cairan, dan kadang-kadang protein plasma, dapat keluar dari lumen vaskular dan masuk ke ruang interstisial. Pada traktus gastrointestinal, peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan translokasi bakteri enterik dari lumen ke dalam aliran darah, yang secara potensial akan menyebabkan penyebaran infeksi atau sepsis.
Apoptosis neutrofil dapat dihambat, dan diikuti dengan peningkatan pelepasan mediator-mediator inflamasi. Pada sel-sel lain, apoptosis dapat meningkat, sehingga meningkatkan kematian sel dan memperburuk disfungsi organ.
Tekanan darah tidak selalu rendah pada fase awal syok (meski demikian hipotensi dapat terjadi jika syok tidak tertangani). Sama halnya, tidak semua pasien yang memiliki tekanan darah rendah mengalami syok. Derajat dan konsekuensi hipotensi bervariasi sesuai dengan adekuat tidaknya kompensasi fisiologik dan penyakit pasien yang mendasari syok. Itulah sebabnya, syok derajat sedang dapat ditoleransi dengan baik pada pasien usia muda, sementara pada pasien arteriosklerosis yang tampak relatif sehat, mungkin saja akan menyebabkan disfungsi serebral, jantung, atau disfungsi renal berat.
Kompensasi : Pada dasarnya, ketika transport O2 mengalami penurunan, jaringan akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan persentase O2 di jaringan. Pada keadaan ini, intervensi yang dilakukan bertujuan mempertahankan saturasi O2 di vena campuran agar tetap berada di atas 30%. Tekanan arterial yang rendah akan merangsang respon adrenergik berupa vasokonstriksi pembuluh darah akibat aktivitas simpatik dan kadang terjadi peningkatan denyut jantung. Vasokonstriksi yang terjadi bersifat selektif, mengalirkan darah ke jantung dan otak. Amina-amina β-adrenergik dalam sirkulasi (epinefrin, norepinefrin) juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan merangsang pelepasan kortikosteroid dari glandula adrenal, rennin dari ginjal, dan glukosa dari hati. Peningkatan glukosa dapat meningkatkan aktivitas mitokondria yang rusak dan memproduksi asam laktat yang lebih banyak.
Reperfusi : Reperfusi pada sel-sel yang iskemik dapat menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut. Jika suatu substrat kembali dipaparkan, aktivitas neutrofil akan lebih giat dan meningkatkan produksi superoksida dan hidroksil radikal. Setelah aliran darah mengalami perbaikan, mediator-mediator inflamasi dapat dialihkan ke organ-organ lainnya.
Sindrom disfungsi organ multiple (Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)) : Kombinasi jejas langsung dan jejas sel akibat reperfusi dapat menyebabkan MODS---yaitu disfungsi progresif dari 2 atau lebih organ sebagai akibat dari suatu penyakit atau jejas. MODS dapat terjadi pada berbagai tipe syok tetapi paling sering terjadi pada syok yang terkait infeksi. Kegagalan organ merupakan salah satu manifestasi klinis pada syok septik. MODS juga terjadi pada >10% pasien dengan jejas traumatik berat dan menjadi penyebab primer kematian pada pasien yang dapat bertahan lebih dari 24 jam.
Berbagai sistem organ dapat dipengaruhi, tetapi yang lebih sering adalah paru-paru, di mana peningkatan permeabilitas membran menyebabkan edema alveoli akibat kebocoran kapiler. Hipoksia yang progresif dapat mengalami peningkatan resistensi terhadap pemberian O2 tambahan. Kondisi ini dikenal sebagai acute lung injury, atau jika berat, disebut sebagai Sindroma Distress Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)).
Ginjal mengalami gangguan jika perfusi ginjal menurun secara bermakna, menyebabkan nekrosis tubular akut dan insufisiensi renal, manifestasinya berupa oligouria dan peningkatan progresif kadar kreatinin serum.
Pada jantung, penurunan perfusi koronaria dan mediator-mediator (termasuk TNF dan IL-1) dapat menurunkan kontraktilitas, memperburuk penurunan fungsi miokardial, dan mengganggu regulasi reseptor-β. Faktor-faktor ini menurunkan curah jantung, memperburuk perfusi miokardial dan perfusi sistemik, serta menyebabkan lingkaran setan yang dapat berakhir pada kematian.
Pada traktus gastrointestinal, dapat terjadi perdarahan submukosa dan ileus. Hipoperfusi hepar dapat mengakibatkan nekrosis hepatoselular fokal atau ekstensif, elevasi transaminase, dan penurunan produksi faktor-faktor pembekuan.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Ada beberapa mekanisme hipoperfusi organ dan syok. Syok dapat terjadi akibat volume sirkulasi yang rendah (syok hipovolemik), vasodilatasi (syok distributif), penurunan primer volume curah jantung (syok kardiogenik dan dan syok obstruktif), atau kombinasinya.
Syok hipolemik : Syok hipovolemik disebabkan oleh adanya penurunan bermakna pada volume intravaskular. Penurunan aliran balik vena (preload) menyebabkan penurunan volume pengisian ventrikel dan volume sekuncup. Jika tubuh tidak berkompensasi dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, volume curah jantung akan menurun.
Penyebab syok yang paling sering adalah perdarahan (syok hemoragik), biasanya akibat trauma, intervensi bedah, tukak peptik, varises esofageal, dan aneurisma aorta. Perdarahan dapat tampak nyata (misalnya hematemesis dan melena), atau tersembunyi (misalnya perdarahan pada kehamilan ektopik teranggu).
Syok hipovolemik juga dapat terjadi akibat peningkatan kehilangan cairan tubuh selain darah (lihat Tabel 1. Syok dan Resusitasi Cairan : Syok Hipovolemik Akibat Kehilangan Cairan Tubuh)
Tabel 1. Syok dan Resusitasi Cairan
Syok Hipovolemik Akibat Kehilangan Cairan Tubuh

Tempat Kehilangan Cairan Mekanisme Kehilangan Cairan
Kulit Luka bakar akibat suhu atau bahan kimia, kehilangan cairan lewat pengeluaran keringat akibat paparan panas yang berlebihan
Traktus Gastrointestinal Muntah atau diare
Ginjal
Diabetes mellitus atau diabetes insipidus, insufisiensi adrenal, nefritis, fase poliuria setelah terjadi kerusakan tubular akut, dan penggunaan diuretik kuat
Kehilangan cairan intravaskular ke ruang ekstravaskular Peningkatan permeabilitas kapiler sekunder akibat imflamasi atau trauma, anoksia, henti jantung, sepsis, iskemik pada usus, atau pankreatitis akut
Syok hipovolemik juga dapat terjadi akibat asupan cairan yang tidak adekuat (dengan atau tanpa peningkatan kehilangan cairan). Tubuh mungkin kekurangan air, dan keterbatasan atau gangguan status neurologis dapat mengganggu mekanisme terjadinya respon haus, atau gangguan fisik dapat mengganggu masuknya / absorbsi air oleh tubuh. Pada pasien rawat inap, hipovolemia dapat bersifat kompleks jika tanda-tanda awal insufisiensi sirkulasi disalahkenali sebagai gagal jantung dan cairan dibatasi atau diberikan diuretik.
Syok distributif : Syok distributif terjadi akibat volume intravaskular yang relatif tidak adekuat karena vasodilatasi arteri atau vena, sementara volume total darah dalam sirkulasi masih normal. Pada beberapa kasus curah jantung tinggi, tetapi peningkatan aliran darah melalui pembentukan shunt arteriovenosa di anyaman kapiler menyebabkan hipoperfusi seluler (yang ditandai dengan penurunan konsumsi O2). Pada kondisi lain, terbentuk bendungan darah pada vena-vena besar dan volume curah jantung menurun.
Syok distributif dapat disebabkan oleh reaksi anafilaksis (syok anafilaksis), infeksi bakterial dengan pelepasan endotoksin (syok sepsis), trauma atau jejas berat pada otak dan medulla spinalis (syok neurogenik), dan tidak sengaja menelan obat tertentu atau racun, seperti nitrat, opioid, dan beta bloker. Pada syok anafilaktik dan syok septik sering juga terjadi hipovolemia.
Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif : Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi di mana terjadi penurunan relatif atau absolut pada volume curah jantung akibat gangguan primer pada jantung. Faktor-faktor mekanik yang mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung atau pembuluh-pembuluh darah besar dapat menjelaskan terjadinya syok obstruktif. Penyebab-penyebab syok obstruktif dapat dilihat pada tabel 2. Syok dan Resusitasi Cairan : Mekanisme Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif.


Tabel 2. Syok dan Resusitasi Cairan
Mekanisme Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif

Tipe Mekanisme Penyebab
Obstruktif Pengaruh mekanik pada pengisian ventrikel Tension pneumothorax, kompresi vena kava, tamponade jantung, tumor atau bekuan darah pada atrium
Pengaruh pada pengosongan ventrikel Emboli pulmonal
Kardiogenik Kontraktilitas miokardial terganggu Infark miokardial atau MI, miokarditis, obat-obatan
Abnormalitas ritme jantung Takikardia, bradikardia
Kelainan atau gangguan struktural jantung Regurgitasi mitralis atau aorta akut, ruptur septum intraventrikular, malfungsi katub prostetik

GEJALA DAN TANDA
Letargi, kebingungan, dan somnolen merupakan gejala yang umum. Tangan dan kaki pucat, dingin, lembab, dan sering sianotik, demikian pula pada lobulus telinga, hidung, dan kuku. Waktu pengisian kapiler memanjang, kecuali pada syok distributif, kulit tampak kelabu atau kusam dan lembab. Diaforesis hebat dapat terjadi. Denyut nadi perifer melemah dan biasanya cepat, sering hanya denyut arteri femoralis dan arteri karotis yang teraba. Takipnea dan hiperventilasi juga dapat ditemukan. Tekanan darah dapat menurun (sistolik <90 mmHg) atau tidak terukur; pengukuran langsung melalui pemasangan kateter intraarterial, yang dapat memberikan nilai yang lebih akurat atau lebih tinggi. Produksi urine menurun.
Syok distributif memiliki gejala-gejala yang serupa, kecuali kulit tampak kemerahan dan terasa hangat, terutama selama terjadi sepsis. Denyut nadi lebih sering teraba kuat daripada lemah. Pada syok septik, demam yang biasanya diawali dengan menggigil, merupakan gejala yang umum ditemukan. Pada beberapa pasien yang mengalami syok anafilaktik ditemukan urtikaria dan wheezing. Beberapa gejala lainnya (seperti nyeri dada, dispnea, dan nyeri abdomen) dapat terjadi akibat penyakit yang mendasari syok atau akibat kegagalan fungsi organ sekunder.

DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, berdasarkan adanya bukti insufisiensi perfusi organ (obtundasi, oligouria, sianosis periferal) dan tanda-tanda mekanisme kompensasi (takikardia, takipnea, diaforesis). Kriteria spesifik untuk mendiagnosis adalah adanya obtundasi, denyut jantung >100x/menit, frekuensi pernapasan >22x/menit, hipotensi (sistolik <90 mmHg) atau penurunan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg dari normal, dan produksi urine <0,5 mL/kgBB/jam. Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis syok antara lain asam laktat >3 mmol/L, defisit dasar < −5 mEq/L, dan PaCO2 < 32 mmHg. Namun demikian, tidak satupun dari hasil laboratorium ini yang bersifat diagnostik untuk syok. Akhir-akhir ini, penentuan PCO2 sublingual telah diperkenalkan sebagai pemeriksaan noninvasif dan cepat untuk mengetahui derajat beratnya syok.
Diagnosis penyebab syok : Mengenali penyebab dasar syok lebih penting daripada mengklasifikasikan tipe syok. Seringkali penyebab syok sangat nyata atau dapat dikenali dengan cepat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis, ditunjang dengan pemeriksaan sederhana.
Nyeri dada (dengan atau tanpa dispnea) dapat mengindikasikan suatu infark miokardial, diseksi aorta, atau emboli pulmonal. Bising sistolik dapat mengindikasikan suatu ruptur septum ventrikular atau insufisiensi mitralis dari infark miokardial akut. Bising diastolik dapat mengindikasikan suatu regurgitasi aorta akibat diseksi aorta yang melibatkan arkus aorta. Tamponade jantung dapat mengindikasikan suatu distensi vena jugular, dan denyut paradoksikal. Emboli pulmonal dapat menyebabkan syok, khususnya melalui penurunan saturasi O2 dan lebih sering terjadi pada kondisi khusus, termasuk pada tirah baring dalam jangka waktu lama dan setelah menjalani prosedur pembedahan. Pemeriksaannya meliputi elektrokardiografi, troponin I, foto polos dada, analisa gas darah, CT-scan paru, helical CT, dan/atau ekokardiografi.
Nyeri abdomen atau nyeri punggung atau nyeri tekan pada abdomen mengindikasikan suatu pankreatitis, ruptur aneurisma aorta abdominal, peritonitis, dan, pada perempuan usia produktif bisa jadi merupakan suatu kehamilan ektopik terganggu. Massa pulsatil abdomen pada linea mediana dapat merupakan suatu aneurisma aorta abdominal yang mengalami ruptur. Massa adneksa yang lunak dapat merupakan suatu kehamilan ektopik. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan seperti CT-abdomen (jika pasien tidak stabil, pemeriksaan ultrasonografi bisa membantu), CBC, amilase, dan lipase, dan pada wanita usia produktif dapat dilakukan planotest.
Demam, menggigil, dan tanda-tanda fokal infeksi mengindikasikan suatu syok septik, khususnya pada pasien yang mengalami penurunan status imun. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa foto polos dada, urinalisis, CBC, serta kultur daerah luka, darah, urine, dan cairan tubuh lain yang relevan.
Pada beberapa pasien, penyebab dasar syok dapat tidak diketahui atau tersembunyi. Pasien tanpa tanda dan gejala-gejala fokal harus menjalani pemeriksaan elektrokardiografi, enzim jantung, foto polos dada, dan analisa gas darah. Jika hasil pemeriksaan ini normal, penyebab syok yang paling mungkin adalah kelebihan dosis obat, infeksi tersembunyi (termasuk syok toksik), dan syok obstruktif.
Pemeriksaan Tambahan : Jika penyebab dasar syok belum diketahui, maka pemeriksaan elektrokardiografi, foto polos dada, CBC, elektrolit serum, BUN, kreatinin, PT, aPTT, tes fungsi hati, serta fibrinogen dan produk-produk fibrin dilakukan untuk memantau status pasien. Jika status volume pasien sulit dipastikan, maka dapat dilakukan pemantauan tekanan vena sentral (central venous pressure (CVP)) atau tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)). CVP < 5 mmHg (<7 cmH2O) atau PAOP <8 mmHg mengindikasikan suatu hipovolemia. Meski demikian, nilai CVP dapat lebih besar pada pasien hipovolemia yang sebelumnya telah mengalami hipertensi pulmonal.

PROGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Syok yang tidak tertangani biasanya akan berakibat fatal. Bahkan meski mendapat penanganan, tingkat kematian pada syok kardiogenik akibat infark miokardial dan pada syok septik cukup tinggi (60 – 65%). Prognosisnya tergantung pada penyebab, penyakit yang menyertai atau komplikasi penyakit, waktu antara onset sampai diagnosis, serta penatalaksanaan yang cepat dan adekuat.

Penanganan Umum : Pertolongan pertama pada syok yaitu menjaga agar pasien tetap dalam keadaan hangat. Perdarahan dikontrol, jalan napas dan ventilasi dievaluasi, dan diberikan bantuan pernapasan jika diperlukan. Tidak ada obat-obatan yang diberikan secara oral, dan kepala pasien dipalingkan ke satu sisi untuk mencegah aspirasi jika pasien muntah.
Penatalaksanaan dari awal harus berjalan simultan dengan evaluasi. Pada keadaan ini dibutuhkan pemberian bantuan oksigen menggunakan sungkup. Pada syok derajat berat atau jika ventilasi tidak adekuat, maka dibutuhkan intubasi dengan ventilasi mekanik. Dua kateter intravena (ukuran 16-18 G) dipasang pada vena perifer. Jika vena perifer tidak dapat diakses, khususnya pada anak-anak, maka dibutuhkan akses pada vena sentral atau dengan menggunakan jarum intraosseus.
Pada umumnya, 1 L (atau 20 mL/kgBB pada anak) larutan fisiologis 0,9% diberikan melalui infus selama 15 menit. Pada perdarahan besar, cairan yang biasa digunakan adalah ringer laktat. Jika parameter klinik tidak kembali ke normal, maka pemberiann cairan harus diulang. Volume cairan yang lebih kecil (250–500 mL) digunakan pada pasien dengan tanda-tanda peningkatan tekanan sisi kanan (misalnya pada distensi vena leher) atau infark miokardial akut. Terapi cairan sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan tanda-tanda edema paru. Terapi cairan selanjutnya diberikan sesuai kondisi tertentu atau status pasien dan mungkin dibutuhkan pemantauan nilai CVP dan PAOP.
Pasien yang mengalami syok harus mendapat perawatan ICU. Pemantauan status pasien meliputi elektrokardiografi, sistolik, diastolik, MAP, frekuensi dan adekuasi pernapasan, produksi urine melalui kateter buli-buli, suhu tubuh, dan status klinik meliputi sensorik (seperti GCS), volume nadi, suhu dan warna kulit. Pengukuran CVP, PAOP, dan termodilusi curah jantung menggunakan balloon-tipped pulmonary arterial catheter dapat membantu dalam penegakan diagnosis dan penanganan awal pasien syok yang penyebabnya tidak diketahui atau pada pasien dengan syok berat, khususnya jika disertai dengan oligouria atau edema paru. Pemeriksaan berkala analisa gas darah, hematokrit, elektrolit, kreatinin serum, dan asam laktat darah juga dibutuhkan. Pengukuran CO2 sublingual, jika tersedia, merupakan media pemantauan status perfusi viseral yang noninvasif.

Karena hipoperfusi jaringan menyebabkan terhambatnya absorbsi intramuskular, semua obat-obatan parenteral diberikan secara intravena. Pemberian opioid umumnya dihindari karena dapat menyebabkan vasodilatasi, tetapi nyeri hebat dapat teratasi dengan pemberian morfin 1-4 mg IV yang diberikan dalam waktu lebih dari 2 menit dan diulangi setelah 10-15 menit jika diperlukan. Meski demikian, hipoperfusi serebral dapat menyebabkan ansietas, dan pada keadaan ini sedatif atau transquilizer tidak rutin digunakan.
Setelah resusitasi awal, penanganan spesifik ditujukan untuk mengatasi kondisi tertentu. Perawatan pendukung lainnya tergantung pada tipe syok.
Syok Hemoragik : Pada syok hemoragik, kontrol perdarahan dengan prosedur bedah merupakan tindakan primer. Penggantian volume tubuh biasanya disertai dengan kontrol bedah. Transfusi darah dilakukan pada syok hemoragik yang tidak memberi respon setelah pemberian 2 L (atau 40 mL/kgBB pada anak-anak) kristaloid. Kegagalan respon terhadap terapi biasanya menandakan volume cairan yang diberikan belum mencukupi atau tidak dikenali selama perdarahan terus berlangsung. Pemberian agen-agen vasopressor tidak dianjurkan untuk penanganan syok hemoragik jika tidak disertai dengan syok kardiogenik, syok obstruktif, atau syok distributif.
Syok Distributif : Syok distributif yang disertai hipotensi setelah pemberian awal terapi cairan dengan larutan NaCl 0,9% dapat diatasi dengan pemberian inotropik atau agen vasopressor (seperti dopamine dan norepinefrin). Pasien dengan syok septik juga sebaiknya mendapat terapi sedikitnya dua antibiotik spektrum luas. Pasien dengan syok anafilaktik yang tidak memberikan respon terhadap terapi cairan (khususnya jika disertai dengan bronkokonstriksi) dapat diberikan epinefrin 0,05-0,1 mg IV, diikuti dengan pemberian epinefrin melalui infus 5 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan dosis 10 mL/jam atau 0,02 g/kgBB/menit.


Tabel 3
Inotropik dan Katekolamin Vasoaktif

Obat Dosis Efek Hemodinamik
Norepinefrin 4 mg dalam 250 mL atau 500 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV, dengan dosis awal 5-12 g/menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2-4 g /menit -adrenergik : menyebabkan vasokonstriksi
-adrenergik : efek inotropik dan konotropik
Dopamin
400 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV, dengan dosis 0,3 mL (0,25 mg) - 1,25mL (1 mg) per menit
 2-10 g/kgBB/menit untuk dosis rendah
 20 g//kgBB/menit untuk dosis tinggi -adrenergik : menyebabkan vasokonstriksi
-adrenergik : efek inotropik dan konotropik, menyebabkan vasodilatasi
Nonadrenergik : menyebabkan vasodilatasi renal dan splanknikus
Dobutamin 250 mg dalam 250 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV dengan dosis 2,5–10 g/kgBB/menit -adrenergik : efek inotropik

Syok Kardiogenik : Pada syok kardiogenik, gangguan struktural (seperti disfungsi valvular dan ruptur septal) merupakan kelainan yang memerlukan rekonstruksi bedah. Trombosis arteri koroner dapat ditangani baik dengan intervensi perkutaneus (angioplasti, stenting), bedah pintas arteri koroner, atau trombolisis. Takidisritmia (fibrilasi atrium rapid response, takikardi ventrikular) dapat diatasi dengan kardioversi atau dengan obat-obatan. Bradikardi dapat ditangani dengan menggunakan pemacu jantung transvenosa atau transkutaneus, pemberian atropin 0,5 mg IV sampai 4 dosis dalam 5 menit dapat menunda pemasangan alat pacu jantung. Isoproterenol (2 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan dosis 1-4 μg/menit [0,25-1 mL/menit]) dapat digunakan jika atropin tidak efektif, tetapi tidak disarankan penggunaannya jika pasien menderita infark miokardial akibat penyakit arteri koroner.
Syok setelah infark miokardial akut dapat ditangani dengan pemberian terapi cairan jika PAOP rendah atau normal; nilai PAOP 5–18 mmHg dianggap sebagai nilai optimal. Jika kateter arteri pulmonal tidak pada tempatnya, pemberian terapi cairan intravena (bolus 250–500 mL larutan NaCl 0,9%) dapat dicoba bersamaan dengan pemantauan auskultasi dada untuk mewaspadai tanda-tanda kelebihan cairan. Syok setelah infark miokardial ventrikel kanan biasanya memberi respon terhadap pemberian terapi cairan, meski demiakian agen-agen vasopressor tetap dibutuhkan.
Pada hipotensi derajat sedang (misalnya MAP 70–90 mmHg), infus dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Takikardia dan aritmia biasanya terjadi selama pemberian dobutamin, khususnya bila dosis tinggi, maka dosisnya perlu dikurangi. Vasodilator (nitropusside, nitrogliserin), yang meningkatkan kapasitas vena atau menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik, akan menurunkan beban kerja pada miokardium yang mengalami kerusakan dan dapat meningkatkan curah jantung pada pasien dengan hipotensi berat. Terapi kombinasi (misalnya dopamin atau dobutamin dengan nitropusside atau nitrogliserin) dapat digunakan, tetapi pasien harus dipantau dengan elektrokardiografi serta harus dijaga hemodinamik sistemik dan pulmonalnya.
Untuk hipotensi yang lebih berat (MAP <70 mmHg), norepinefrin atau dopamin dapat diberikan untuk mencapai target tekanan sistolik 80–90 mmHg (dan bukan >110 mmHg). Balon intra-aorta sangat bermanfaat untuk mengatasi syok sementara pada pasien dengan infark miokardial akut. Prosedur ini dapat dipertimbangkan untuk mempermudah melakukan kateterisasi jantung dan angigrafi koroner sebelum dilakukan intervensi bedah pada pasien infark miokardial akut yang disertai komplikasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitralis akut berat yang membutuhkan tambahan terapi vasopressor selama > 30 menit.
Pada syok obstruktif, tamponade jantung membutuhkan tindakan perikardiosentesis secepatnya, yang dapat dilakukan di ruang perawatan. Tension pneumothorax harus segera dikompresi dengan menginsersikan kateter atau jarum ke ruang interkostal II pada linea midklavikularis. Emboli pulmonal masif dapat menyebabkan syok jika diberikan trombolisis atau dilakukan embolektomi.

MANAJEMEN SYOK

Syok adalah suatu keadaan hipoperfusi organ yang mengakibatkan disfungsi dan kematian seluler. Mekanisme ini mencakup terjadinya penurunan volume sirkulasi, penurunan curah jantung, dan vasodilatasi, yang terkadang menyebabkan terbentuknya shunt pada anyaman-anyaman kapiler. Gejalanya antara lain perubahan status mental, takikardi, hipotensi, dan oliguria. Penegakan diagnosis secara klinik melalui pengukuran tekanan darah. Penanganannya dengan pemberian cairan intravena, koreksi terhadap penyakit dasar, dan terkadang dibutuhkan vasopressor.

PATOFISIOLOGI
Defek mendasar yang terjadi pada syok adalah penurunan perfusi pada organ-organ vital. Sekali terjadi penurunan perfusi maka kadar oksigen tidak adekuat untuk metabolisme aerobik, sehingga sel-sel akan melakukan metabolisme anerobik disertai peningkatan produksi CO2 dan akumulasi asam laktat. Fungsi seluler mengalami penurunan, dan jika kondisi syok menetap, dapat terjadi kerusakan sel yang ireversibel bahkan kematian sel.
Selama fase syok, akan terjadi perangsangan pada kaskade faktor-faktor inflamasi dan faktor-faktor pembekuan pada daerah yang mengalami hipoperfusi. Sel-sel endotel vaskular yang hipoksik akan mengaktifkan leukosit, yang akan terikat pada endotel dan secara langsung melepaskan substansi-substansi litik (seperti O2 reaktif dan enzim-enzim proteolitik) dan mediator-mediator peradangan (sitokin, leukotrin, tumor necrosis factor (TNF)). Beberapa mediator ini terikat pada reseptor-reseptor di permukaan sel dan mengaktifkan faktor nuklear Kappa B (NFkB), yang pada akhirnya akan merangsang produksi sitokin tambahan dan nitrit oksida (NO), suatu vasolidator yang poten. Syok septik dapat lebih bersifat proinflamatori dari bentuk-bentuk syok lainnya karena adanya peran toksin bakterial, khususnya endotoksin.
Vasodilatasi pada pembuluh darah vena menyebabkan terjadinya bendungan darah dan hipotensi akibat hipovolemia relatif. Vasodilatasi lokal dapat menyebabkan terbentuknya shunt pada anyaman-anyaman kapiler, menyebabkan hipoperfusi fokal meskipun curah jantung dan tekanan darah dalam batas normal. Selain itu, kelebihan NO diubah menjadi peroksinitrit, suatu radikal bebas yang merusak mitokondria dan menurunkan produksi ATP.
Aliran darah ke kapiler-kapiler darah berkurang meskipun aliran darah pada pembuluh darah besar telah berkompensasi pada kondisi syok septik. Obstruksi mekanik pada pembuluh-pembuluh darah kecil dapat membatasi transport substansi tertentu ke jaringan. Leukosit dan platelet melekat pada endotel, dan sistem pembekuan darah teraktivasi melalui pembentukan fibrin.
Selama terjadi disfungsi sel endotel, berbagai mediator secara bermakna meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, sehingga cairan, dan kadang-kadang protein plasma, dapat keluar dari lumen vaskular dan masuk ke ruang interstisial. Pada traktus gastrointestinal, peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan translokasi bakteri enterik dari lumen ke dalam aliran darah, yang secara potensial akan menyebabkan penyebaran infeksi atau sepsis.
Apoptosis neutrofil dapat dihambat, dan diikuti dengan peningkatan pelepasan mediator-mediator inflamasi. Pada sel-sel lain, apoptosis dapat meningkat, sehingga meningkatkan kematian sel dan memperburuk disfungsi organ.
Tekanan darah tidak selalu rendah pada fase awal syok (meski demikian hipotensi dapat terjadi jika syok tidak tertangani). Sama halnya, tidak semua pasien yang memiliki tekanan darah rendah mengalami syok. Derajat dan konsekuensi hipotensi bervariasi sesuai dengan adekuat tidaknya kompensasi fisiologik dan penyakit pasien yang mendasari syok. Itulah sebabnya, syok derajat sedang dapat ditoleransi dengan baik pada pasien usia muda, sementara pada pasien arteriosklerosis yang tampak relatif sehat, mungkin saja akan menyebabkan disfungsi serebral, jantung, atau disfungsi renal berat.
Kompensasi : Pada dasarnya, ketika transport O2 mengalami penurunan, jaringan akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan persentase O2 di jaringan. Pada keadaan ini, intervensi yang dilakukan bertujuan mempertahankan saturasi O2 di vena campuran agar tetap berada di atas 30%. Tekanan arterial yang rendah akan merangsang respon adrenergik berupa vasokonstriksi pembuluh darah akibat aktivitas simpatik dan kadang terjadi peningkatan denyut jantung. Vasokonstriksi yang terjadi bersifat selektif, mengalirkan darah ke jantung dan otak. Amina-amina β-adrenergik dalam sirkulasi (epinefrin, norepinefrin) juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan merangsang pelepasan kortikosteroid dari glandula adrenal, rennin dari ginjal, dan glukosa dari hati. Peningkatan glukosa dapat meningkatkan aktivitas mitokondria yang rusak dan memproduksi asam laktat yang lebih banyak.
Reperfusi : Reperfusi pada sel-sel yang iskemik dapat menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut. Jika suatu substrat kembali dipaparkan, aktivitas neutrofil akan lebih giat dan meningkatkan produksi superoksida dan hidroksil radikal. Setelah aliran darah mengalami perbaikan, mediator-mediator inflamasi dapat dialihkan ke organ-organ lainnya.
Sindrom disfungsi organ multiple (Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)) : Kombinasi jejas langsung dan jejas sel akibat reperfusi dapat menyebabkan MODS---yaitu disfungsi progresif dari 2 atau lebih organ sebagai akibat dari suatu penyakit atau jejas. MODS dapat terjadi pada berbagai tipe syok tetapi paling sering terjadi pada syok yang terkait infeksi. Kegagalan organ merupakan salah satu manifestasi klinis pada syok septik. MODS juga terjadi pada >10% pasien dengan jejas traumatik berat dan menjadi penyebab primer kematian pada pasien yang dapat bertahan lebih dari 24 jam.
Berbagai sistem organ dapat dipengaruhi, tetapi yang lebih sering adalah paru-paru, di mana peningkatan permeabilitas membran menyebabkan edema alveoli akibat kebocoran kapiler. Hipoksia yang progresif dapat mengalami peningkatan resistensi terhadap pemberian O2 tambahan. Kondisi ini dikenal sebagai acute lung injury, atau jika berat, disebut sebagai Sindroma Distress Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)).
Ginjal mengalami gangguan jika perfusi ginjal menurun secara bermakna, menyebabkan nekrosis tubular akut dan insufisiensi renal, manifestasinya berupa oligouria dan peningkatan progresif kadar kreatinin serum.
Pada jantung, penurunan perfusi koronaria dan mediator-mediator (termasuk TNF dan IL-1) dapat menurunkan kontraktilitas, memperburuk penurunan fungsi miokardial, dan mengganggu regulasi reseptor-β. Faktor-faktor ini menurunkan curah jantung, memperburuk perfusi miokardial dan perfusi sistemik, serta menyebabkan lingkaran setan yang dapat berakhir pada kematian.
Pada traktus gastrointestinal, dapat terjadi perdarahan submukosa dan ileus. Hipoperfusi hepar dapat mengakibatkan nekrosis hepatoselular fokal atau ekstensif, elevasi transaminase, dan penurunan produksi faktor-faktor pembekuan.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Ada beberapa mekanisme hipoperfusi organ dan syok. Syok dapat terjadi akibat volume sirkulasi yang rendah (syok hipovolemik), vasodilatasi (syok distributif), penurunan primer volume curah jantung (syok kardiogenik dan dan syok obstruktif), atau kombinasinya.
Syok hipolemik : Syok hipovolemik disebabkan oleh adanya penurunan bermakna pada volume intravaskular. Penurunan aliran balik vena (preload) menyebabkan penurunan volume pengisian ventrikel dan volume sekuncup. Jika tubuh tidak berkompensasi dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, volume curah jantung akan menurun.
Penyebab syok yang paling sering adalah perdarahan (syok hemoragik), biasanya akibat trauma, intervensi bedah, tukak peptik, varises esofageal, dan aneurisma aorta. Perdarahan dapat tampak nyata (misalnya hematemesis dan melena), atau tersembunyi (misalnya perdarahan pada kehamilan ektopik teranggu).
Syok hipovolemik juga dapat terjadi akibat peningkatan kehilangan cairan tubuh selain darah (lihat Tabel 1. Syok dan Resusitasi Cairan : Syok Hipovolemik Akibat Kehilangan Cairan Tubuh)
Tabel 1. Syok dan Resusitasi Cairan
Syok Hipovolemik Akibat Kehilangan Cairan Tubuh

Tempat Kehilangan Cairan Mekanisme Kehilangan Cairan
Kulit Luka bakar akibat suhu atau bahan kimia, kehilangan cairan lewat pengeluaran keringat akibat paparan panas yang berlebihan
Traktus Gastrointestinal Muntah atau diare
Ginjal
Diabetes mellitus atau diabetes insipidus, insufisiensi adrenal, nefritis, fase poliuria setelah terjadi kerusakan tubular akut, dan penggunaan diuretik kuat
Kehilangan cairan intravaskular ke ruang ekstravaskular Peningkatan permeabilitas kapiler sekunder akibat imflamasi atau trauma, anoksia, henti jantung, sepsis, iskemik pada usus, atau pankreatitis akut
Syok hipovolemik juga dapat terjadi akibat asupan cairan yang tidak adekuat (dengan atau tanpa peningkatan kehilangan cairan). Tubuh mungkin kekurangan air, dan keterbatasan atau gangguan status neurologis dapat mengganggu mekanisme terjadinya respon haus, atau gangguan fisik dapat mengganggu masuknya / absorbsi air oleh tubuh. Pada pasien rawat inap, hipovolemia dapat bersifat kompleks jika tanda-tanda awal insufisiensi sirkulasi disalahkenali sebagai gagal jantung dan cairan dibatasi atau diberikan diuretik.
Syok distributif : Syok distributif terjadi akibat volume intravaskular yang relatif tidak adekuat karena vasodilatasi arteri atau vena, sementara volume total darah dalam sirkulasi masih normal. Pada beberapa kasus curah jantung tinggi, tetapi peningkatan aliran darah melalui pembentukan shunt arteriovenosa di anyaman kapiler menyebabkan hipoperfusi seluler (yang ditandai dengan penurunan konsumsi O2). Pada kondisi lain, terbentuk bendungan darah pada vena-vena besar dan volume curah jantung menurun.
Syok distributif dapat disebabkan oleh reaksi anafilaksis (syok anafilaksis), infeksi bakterial dengan pelepasan endotoksin (syok sepsis), trauma atau jejas berat pada otak dan medulla spinalis (syok neurogenik), dan tidak sengaja menelan obat tertentu atau racun, seperti nitrat, opioid, dan beta bloker. Pada syok anafilaktik dan syok septik sering juga terjadi hipovolemia.
Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif : Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi di mana terjadi penurunan relatif atau absolut pada volume curah jantung akibat gangguan primer pada jantung. Faktor-faktor mekanik yang mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung atau pembuluh-pembuluh darah besar dapat menjelaskan terjadinya syok obstruktif. Penyebab-penyebab syok obstruktif dapat dilihat pada tabel 2. Syok dan Resusitasi Cairan : Mekanisme Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif.


Tabel 2. Syok dan Resusitasi Cairan
Mekanisme Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif

Tipe Mekanisme Penyebab
Obstruktif Pengaruh mekanik pada pengisian ventrikel Tension pneumothorax, kompresi vena kava, tamponade jantung, tumor atau bekuan darah pada atrium
Pengaruh pada pengosongan ventrikel Emboli pulmonal
Kardiogenik Kontraktilitas miokardial terganggu Infark miokardial atau MI, miokarditis, obat-obatan
Abnormalitas ritme jantung Takikardia, bradikardia
Kelainan atau gangguan struktural jantung Regurgitasi mitralis atau aorta akut, ruptur septum intraventrikular, malfungsi katub prostetik

GEJALA DAN TANDA
Letargi, kebingungan, dan somnolen merupakan gejala yang umum. Tangan dan kaki pucat, dingin, lembab, dan sering sianotik, demikian pula pada lobulus telinga, hidung, dan kuku. Waktu pengisian kapiler memanjang, kecuali pada syok distributif, kulit tampak kelabu atau kusam dan lembab. Diaforesis hebat dapat terjadi. Denyut nadi perifer melemah dan biasanya cepat, sering hanya denyut arteri femoralis dan arteri karotis yang teraba. Takipnea dan hiperventilasi juga dapat ditemukan. Tekanan darah dapat menurun (sistolik <90 mmHg) atau tidak terukur; pengukuran langsung melalui pemasangan kateter intraarterial, yang dapat memberikan nilai yang lebih akurat atau lebih tinggi. Produksi urine menurun.
Syok distributif memiliki gejala-gejala yang serupa, kecuali kulit tampak kemerahan dan terasa hangat, terutama selama terjadi sepsis. Denyut nadi lebih sering teraba kuat daripada lemah. Pada syok septik, demam yang biasanya diawali dengan menggigil, merupakan gejala yang umum ditemukan. Pada beberapa pasien yang mengalami syok anafilaktik ditemukan urtikaria dan wheezing. Beberapa gejala lainnya (seperti nyeri dada, dispnea, dan nyeri abdomen) dapat terjadi akibat penyakit yang mendasari syok atau akibat kegagalan fungsi organ sekunder.

DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, berdasarkan adanya bukti insufisiensi perfusi organ (obtundasi, oligouria, sianosis periferal) dan tanda-tanda mekanisme kompensasi (takikardia, takipnea, diaforesis). Kriteria spesifik untuk mendiagnosis adalah adanya obtundasi, denyut jantung >100x/menit, frekuensi pernapasan >22x/menit, hipotensi (sistolik <90 mmHg) atau penurunan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg dari normal, dan produksi urine <0,5 mL/kgBB/jam. Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis syok antara lain asam laktat >3 mmol/L, defisit dasar < −5 mEq/L, dan PaCO2 < 32 mmHg. Namun demikian, tidak satupun dari hasil laboratorium ini yang bersifat diagnostik untuk syok. Akhir-akhir ini, penentuan PCO2 sublingual telah diperkenalkan sebagai pemeriksaan noninvasif dan cepat untuk mengetahui derajat beratnya syok.
Diagnosis penyebab syok : Mengenali penyebab dasar syok lebih penting daripada mengklasifikasikan tipe syok. Seringkali penyebab syok sangat nyata atau dapat dikenali dengan cepat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis, ditunjang dengan pemeriksaan sederhana.
Nyeri dada (dengan atau tanpa dispnea) dapat mengindikasikan suatu infark miokardial, diseksi aorta, atau emboli pulmonal. Bising sistolik dapat mengindikasikan suatu ruptur septum ventrikular atau insufisiensi mitralis dari infark miokardial akut. Bising diastolik dapat mengindikasikan suatu regurgitasi aorta akibat diseksi aorta yang melibatkan arkus aorta. Tamponade jantung dapat mengindikasikan suatu distensi vena jugular, dan denyut paradoksikal. Emboli pulmonal dapat menyebabkan syok, khususnya melalui penurunan saturasi O2 dan lebih sering terjadi pada kondisi khusus, termasuk pada tirah baring dalam jangka waktu lama dan setelah menjalani prosedur pembedahan. Pemeriksaannya meliputi elektrokardiografi, troponin I, foto polos dada, analisa gas darah, CT-scan paru, helical CT, dan/atau ekokardiografi.
Nyeri abdomen atau nyeri punggung atau nyeri tekan pada abdomen mengindikasikan suatu pankreatitis, ruptur aneurisma aorta abdominal, peritonitis, dan, pada perempuan usia produktif bisa jadi merupakan suatu kehamilan ektopik terganggu. Massa pulsatil abdomen pada linea mediana dapat merupakan suatu aneurisma aorta abdominal yang mengalami ruptur. Massa adneksa yang lunak dapat merupakan suatu kehamilan ektopik. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan seperti CT-abdomen (jika pasien tidak stabil, pemeriksaan ultrasonografi bisa membantu), CBC, amilase, dan lipase, dan pada wanita usia produktif dapat dilakukan planotest.
Demam, menggigil, dan tanda-tanda fokal infeksi mengindikasikan suatu syok septik, khususnya pada pasien yang mengalami penurunan status imun. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa foto polos dada, urinalisis, CBC, serta kultur daerah luka, darah, urine, dan cairan tubuh lain yang relevan.
Pada beberapa pasien, penyebab dasar syok dapat tidak diketahui atau tersembunyi. Pasien tanpa tanda dan gejala-gejala fokal harus menjalani pemeriksaan elektrokardiografi, enzim jantung, foto polos dada, dan analisa gas darah. Jika hasil pemeriksaan ini normal, penyebab syok yang paling mungkin adalah kelebihan dosis obat, infeksi tersembunyi (termasuk syok toksik), dan syok obstruktif.
Pemeriksaan Tambahan : Jika penyebab dasar syok belum diketahui, maka pemeriksaan elektrokardiografi, foto polos dada, CBC, elektrolit serum, BUN, kreatinin, PT, aPTT, tes fungsi hati, serta fibrinogen dan produk-produk fibrin dilakukan untuk memantau status pasien. Jika status volume pasien sulit dipastikan, maka dapat dilakukan pemantauan tekanan vena sentral (central venous pressure (CVP)) atau tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)). CVP < 5 mmHg (<7 cmH2O) atau PAOP <8 mmHg mengindikasikan suatu hipovolemia. Meski demikian, nilai CVP dapat lebih besar pada pasien hipovolemia yang sebelumnya telah mengalami hipertensi pulmonal.

PROGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Syok yang tidak tertangani biasanya akan berakibat fatal. Bahkan meski mendapat penanganan, tingkat kematian pada syok kardiogenik akibat infark miokardial dan pada syok septik cukup tinggi (60 – 65%). Prognosisnya tergantung pada penyebab, penyakit yang menyertai atau komplikasi penyakit, waktu antara onset sampai diagnosis, serta penatalaksanaan yang cepat dan adekuat.

Penanganan Umum : Pertolongan pertama pada syok yaitu menjaga agar pasien tetap dalam keadaan hangat. Perdarahan dikontrol, jalan napas dan ventilasi dievaluasi, dan diberikan bantuan pernapasan jika diperlukan. Tidak ada obat-obatan yang diberikan secara oral, dan kepala pasien dipalingkan ke satu sisi untuk mencegah aspirasi jika pasien muntah.
Penatalaksanaan dari awal harus berjalan simultan dengan evaluasi. Pada keadaan ini dibutuhkan pemberian bantuan oksigen menggunakan sungkup. Pada syok derajat berat atau jika ventilasi tidak adekuat, maka dibutuhkan intubasi dengan ventilasi mekanik. Dua kateter intravena (ukuran 16-18 G) dipasang pada vena perifer. Jika vena perifer tidak dapat diakses, khususnya pada anak-anak, maka dibutuhkan akses pada vena sentral atau dengan menggunakan jarum intraosseus.
Pada umumnya, 1 L (atau 20 mL/kgBB pada anak) larutan fisiologis 0,9% diberikan melalui infus selama 15 menit. Pada perdarahan besar, cairan yang biasa digunakan adalah ringer laktat. Jika parameter klinik tidak kembali ke normal, maka pemberiann cairan harus diulang. Volume cairan yang lebih kecil (250–500 mL) digunakan pada pasien dengan tanda-tanda peningkatan tekanan sisi kanan (misalnya pada distensi vena leher) atau infark miokardial akut. Terapi cairan sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan tanda-tanda edema paru. Terapi cairan selanjutnya diberikan sesuai kondisi tertentu atau status pasien dan mungkin dibutuhkan pemantauan nilai CVP dan PAOP.
Pasien yang mengalami syok harus mendapat perawatan ICU. Pemantauan status pasien meliputi elektrokardiografi, sistolik, diastolik, MAP, frekuensi dan adekuasi pernapasan, produksi urine melalui kateter buli-buli, suhu tubuh, dan status klinik meliputi sensorik (seperti GCS), volume nadi, suhu dan warna kulit. Pengukuran CVP, PAOP, dan termodilusi curah jantung menggunakan balloon-tipped pulmonary arterial catheter dapat membantu dalam penegakan diagnosis dan penanganan awal pasien syok yang penyebabnya tidak diketahui atau pada pasien dengan syok berat, khususnya jika disertai dengan oligouria atau edema paru. Pemeriksaan berkala analisa gas darah, hematokrit, elektrolit, kreatinin serum, dan asam laktat darah juga dibutuhkan. Pengukuran CO2 sublingual, jika tersedia, merupakan media pemantauan status perfusi viseral yang noninvasif.

Karena hipoperfusi jaringan menyebabkan terhambatnya absorbsi intramuskular, semua obat-obatan parenteral diberikan secara intravena. Pemberian opioid umumnya dihindari karena dapat menyebabkan vasodilatasi, tetapi nyeri hebat dapat teratasi dengan pemberian morfin 1-4 mg IV yang diberikan dalam waktu lebih dari 2 menit dan diulangi setelah 10-15 menit jika diperlukan. Meski demikian, hipoperfusi serebral dapat menyebabkan ansietas, dan pada keadaan ini sedatif atau transquilizer tidak rutin digunakan.
Setelah resusitasi awal, penanganan spesifik ditujukan untuk mengatasi kondisi tertentu. Perawatan pendukung lainnya tergantung pada tipe syok.
Syok Hemoragik : Pada syok hemoragik, kontrol perdarahan dengan prosedur bedah merupakan tindakan primer. Penggantian volume tubuh biasanya disertai dengan kontrol bedah. Transfusi darah dilakukan pada syok hemoragik yang tidak memberi respon setelah pemberian 2 L (atau 40 mL/kgBB pada anak-anak) kristaloid. Kegagalan respon terhadap terapi biasanya menandakan volume cairan yang diberikan belum mencukupi atau tidak dikenali selama perdarahan terus berlangsung. Pemberian agen-agen vasopressor tidak dianjurkan untuk penanganan syok hemoragik jika tidak disertai dengan syok kardiogenik, syok obstruktif, atau syok distributif.
Syok Distributif : Syok distributif yang disertai hipotensi setelah pemberian awal terapi cairan dengan larutan NaCl 0,9% dapat diatasi dengan pemberian inotropik atau agen vasopressor (seperti dopamine dan norepinefrin). Pasien dengan syok septik juga sebaiknya mendapat terapi sedikitnya dua antibiotik spektrum luas. Pasien dengan syok anafilaktik yang tidak memberikan respon terhadap terapi cairan (khususnya jika disertai dengan bronkokonstriksi) dapat diberikan epinefrin 0,05-0,1 mg IV, diikuti dengan pemberian epinefrin melalui infus 5 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan dosis 10 mL/jam atau 0,02 g/kgBB/menit.


Tabel 3
Inotropik dan Katekolamin Vasoaktif

Obat Dosis Efek Hemodinamik
Norepinefrin 4 mg dalam 250 mL atau 500 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV, dengan dosis awal 5-12 g/menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2-4 g /menit -adrenergik : menyebabkan vasokonstriksi
-adrenergik : efek inotropik dan konotropik
Dopamin
400 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV, dengan dosis 0,3 mL (0,25 mg) - 1,25mL (1 mg) per menit
 2-10 g/kgBB/menit untuk dosis rendah
 20 g//kgBB/menit untuk dosis tinggi -adrenergik : menyebabkan vasokonstriksi
-adrenergik : efek inotropik dan konotropik, menyebabkan vasodilatasi
Nonadrenergik : menyebabkan vasodilatasi renal dan splanknikus
Dobutamin 250 mg dalam 250 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV dengan dosis 2,5–10 g/kgBB/menit -adrenergik : efek inotropik

Syok Kardiogenik : Pada syok kardiogenik, gangguan struktural (seperti disfungsi valvular dan ruptur septal) merupakan kelainan yang memerlukan rekonstruksi bedah. Trombosis arteri koroner dapat ditangani baik dengan intervensi perkutaneus (angioplasti, stenting), bedah pintas arteri koroner, atau trombolisis. Takidisritmia (fibrilasi atrium rapid response, takikardi ventrikular) dapat diatasi dengan kardioversi atau dengan obat-obatan. Bradikardi dapat ditangani dengan menggunakan pemacu jantung transvenosa atau transkutaneus, pemberian atropin 0,5 mg IV sampai 4 dosis dalam 5 menit dapat menunda pemasangan alat pacu jantung. Isoproterenol (2 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan dosis 1-4 μg/menit [0,25-1 mL/menit]) dapat digunakan jika atropin tidak efektif, tetapi tidak disarankan penggunaannya jika pasien menderita infark miokardial akibat penyakit arteri koroner.
Syok setelah infark miokardial akut dapat ditangani dengan pemberian terapi cairan jika PAOP rendah atau normal; nilai PAOP 5–18 mmHg dianggap sebagai nilai optimal. Jika kateter arteri pulmonal tidak pada tempatnya, pemberian terapi cairan intravena (bolus 250–500 mL larutan NaCl 0,9%) dapat dicoba bersamaan dengan pemantauan auskultasi dada untuk mewaspadai tanda-tanda kelebihan cairan. Syok setelah infark miokardial ventrikel kanan biasanya memberi respon terhadap pemberian terapi cairan, meski demiakian agen-agen vasopressor tetap dibutuhkan.
Pada hipotensi derajat sedang (misalnya MAP 70–90 mmHg), infus dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Takikardia dan aritmia biasanya terjadi selama pemberian dobutamin, khususnya bila dosis tinggi, maka dosisnya perlu dikurangi. Vasodilator (nitropusside, nitrogliserin), yang meningkatkan kapasitas vena atau menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik, akan menurunkan beban kerja pada miokardium yang mengalami kerusakan dan dapat meningkatkan curah jantung pada pasien dengan hipotensi berat. Terapi kombinasi (misalnya dopamin atau dobutamin dengan nitropusside atau nitrogliserin) dapat digunakan, tetapi pasien harus dipantau dengan elektrokardiografi serta harus dijaga hemodinamik sistemik dan pulmonalnya.
Untuk hipotensi yang lebih berat (MAP <70 mmHg), norepinefrin atau dopamin dapat diberikan untuk mencapai target tekanan sistolik 80–90 mmHg (dan bukan >110 mmHg). Balon intra-aorta sangat bermanfaat untuk mengatasi syok sementara pada pasien dengan infark miokardial akut. Prosedur ini dapat dipertimbangkan untuk mempermudah melakukan kateterisasi jantung dan angigrafi koroner sebelum dilakukan intervensi bedah pada pasien infark miokardial akut yang disertai komplikasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitralis akut berat yang membutuhkan tambahan terapi vasopressor selama > 30 menit.
Pada syok obstruktif, tamponade jantung membutuhkan tindakan perikardiosentesis secepatnya, yang dapat dilakukan di ruang perawatan. Tension pneumothorax harus segera dikompresi dengan menginsersikan kateter atau jarum ke ruang interkostal II pada linea midklavikularis. Emboli pulmonal masif dapat menyebabkan syok jika diberikan trombolisis atau dilakukan embolektomi.

MANAJEMEN SYOK

Syok adalah suatu keadaan hipoperfusi organ yang mengakibatkan disfungsi dan kematian seluler. Mekanisme ini mencakup terjadinya penurunan volume sirkulasi, penurunan curah jantung, dan vasodilatasi, yang terkadang menyebabkan terbentuknya shunt pada anyaman-anyaman kapiler. Gejalanya antara lain perubahan status mental, takikardi, hipotensi, dan oliguria. Penegakan diagnosis secara klinik melalui pengukuran tekanan darah. Penanganannya dengan pemberian cairan intravena, koreksi terhadap penyakit dasar, dan terkadang dibutuhkan vasopressor.

PATOFISIOLOGI
Defek mendasar yang terjadi pada syok adalah penurunan perfusi pada organ-organ vital. Sekali terjadi penurunan perfusi maka kadar oksigen tidak adekuat untuk metabolisme aerobik, sehingga sel-sel akan melakukan metabolisme anerobik disertai peningkatan produksi CO2 dan akumulasi asam laktat. Fungsi seluler mengalami penurunan, dan jika kondisi syok menetap, dapat terjadi kerusakan sel yang ireversibel bahkan kematian sel.
Selama fase syok, akan terjadi perangsangan pada kaskade faktor-faktor inflamasi dan faktor-faktor pembekuan pada daerah yang mengalami hipoperfusi. Sel-sel endotel vaskular yang hipoksik akan mengaktifkan leukosit, yang akan terikat pada endotel dan secara langsung melepaskan substansi-substansi litik (seperti O2 reaktif dan enzim-enzim proteolitik) dan mediator-mediator peradangan (sitokin, leukotrin, tumor necrosis factor (TNF)). Beberapa mediator ini terikat pada reseptor-reseptor di permukaan sel dan mengaktifkan faktor nuklear Kappa B (NFkB), yang pada akhirnya akan merangsang produksi sitokin tambahan dan nitrit oksida (NO), suatu vasolidator yang poten. Syok septik dapat lebih bersifat proinflamatori dari bentuk-bentuk syok lainnya karena adanya peran toksin bakterial, khususnya endotoksin.
Vasodilatasi pada pembuluh darah vena menyebabkan terjadinya bendungan darah dan hipotensi akibat hipovolemia relatif. Vasodilatasi lokal dapat menyebabkan terbentuknya shunt pada anyaman-anyaman kapiler, menyebabkan hipoperfusi fokal meskipun curah jantung dan tekanan darah dalam batas normal. Selain itu, kelebihan NO diubah menjadi peroksinitrit, suatu radikal bebas yang merusak mitokondria dan menurunkan produksi ATP.
Aliran darah ke kapiler-kapiler darah berkurang meskipun aliran darah pada pembuluh darah besar telah berkompensasi pada kondisi syok septik. Obstruksi mekanik pada pembuluh-pembuluh darah kecil dapat membatasi transport substansi tertentu ke jaringan. Leukosit dan platelet melekat pada endotel, dan sistem pembekuan darah teraktivasi melalui pembentukan fibrin.
Selama terjadi disfungsi sel endotel, berbagai mediator secara bermakna meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, sehingga cairan, dan kadang-kadang protein plasma, dapat keluar dari lumen vaskular dan masuk ke ruang interstisial. Pada traktus gastrointestinal, peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan translokasi bakteri enterik dari lumen ke dalam aliran darah, yang secara potensial akan menyebabkan penyebaran infeksi atau sepsis.
Apoptosis neutrofil dapat dihambat, dan diikuti dengan peningkatan pelepasan mediator-mediator inflamasi. Pada sel-sel lain, apoptosis dapat meningkat, sehingga meningkatkan kematian sel dan memperburuk disfungsi organ.
Tekanan darah tidak selalu rendah pada fase awal syok (meski demikian hipotensi dapat terjadi jika syok tidak tertangani). Sama halnya, tidak semua pasien yang memiliki tekanan darah rendah mengalami syok. Derajat dan konsekuensi hipotensi bervariasi sesuai dengan adekuat tidaknya kompensasi fisiologik dan penyakit pasien yang mendasari syok. Itulah sebabnya, syok derajat sedang dapat ditoleransi dengan baik pada pasien usia muda, sementara pada pasien arteriosklerosis yang tampak relatif sehat, mungkin saja akan menyebabkan disfungsi serebral, jantung, atau disfungsi renal berat.
Kompensasi : Pada dasarnya, ketika transport O2 mengalami penurunan, jaringan akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan persentase O2 di jaringan. Pada keadaan ini, intervensi yang dilakukan bertujuan mempertahankan saturasi O2 di vena campuran agar tetap berada di atas 30%. Tekanan arterial yang rendah akan merangsang respon adrenergik berupa vasokonstriksi pembuluh darah akibat aktivitas simpatik dan kadang terjadi peningkatan denyut jantung. Vasokonstriksi yang terjadi bersifat selektif, mengalirkan darah ke jantung dan otak. Amina-amina β-adrenergik dalam sirkulasi (epinefrin, norepinefrin) juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan merangsang pelepasan kortikosteroid dari glandula adrenal, rennin dari ginjal, dan glukosa dari hati. Peningkatan glukosa dapat meningkatkan aktivitas mitokondria yang rusak dan memproduksi asam laktat yang lebih banyak.
Reperfusi : Reperfusi pada sel-sel yang iskemik dapat menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut. Jika suatu substrat kembali dipaparkan, aktivitas neutrofil akan lebih giat dan meningkatkan produksi superoksida dan hidroksil radikal. Setelah aliran darah mengalami perbaikan, mediator-mediator inflamasi dapat dialihkan ke organ-organ lainnya.
Sindrom disfungsi organ multiple (Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)) : Kombinasi jejas langsung dan jejas sel akibat reperfusi dapat menyebabkan MODS---yaitu disfungsi progresif dari 2 atau lebih organ sebagai akibat dari suatu penyakit atau jejas. MODS dapat terjadi pada berbagai tipe syok tetapi paling sering terjadi pada syok yang terkait infeksi. Kegagalan organ merupakan salah satu manifestasi klinis pada syok septik. MODS juga terjadi pada >10% pasien dengan jejas traumatik berat dan menjadi penyebab primer kematian pada pasien yang dapat bertahan lebih dari 24 jam.
Berbagai sistem organ dapat dipengaruhi, tetapi yang lebih sering adalah paru-paru, di mana peningkatan permeabilitas membran menyebabkan edema alveoli akibat kebocoran kapiler. Hipoksia yang progresif dapat mengalami peningkatan resistensi terhadap pemberian O2 tambahan. Kondisi ini dikenal sebagai acute lung injury, atau jika berat, disebut sebagai Sindroma Distress Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)).
Ginjal mengalami gangguan jika perfusi ginjal menurun secara bermakna, menyebabkan nekrosis tubular akut dan insufisiensi renal, manifestasinya berupa oligouria dan peningkatan progresif kadar kreatinin serum.
Pada jantung, penurunan perfusi koronaria dan mediator-mediator (termasuk TNF dan IL-1) dapat menurunkan kontraktilitas, memperburuk penurunan fungsi miokardial, dan mengganggu regulasi reseptor-β. Faktor-faktor ini menurunkan curah jantung, memperburuk perfusi miokardial dan perfusi sistemik, serta menyebabkan lingkaran setan yang dapat berakhir pada kematian.
Pada traktus gastrointestinal, dapat terjadi perdarahan submukosa dan ileus. Hipoperfusi hepar dapat mengakibatkan nekrosis hepatoselular fokal atau ekstensif, elevasi transaminase, dan penurunan produksi faktor-faktor pembekuan.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Ada beberapa mekanisme hipoperfusi organ dan syok. Syok dapat terjadi akibat volume sirkulasi yang rendah (syok hipovolemik), vasodilatasi (syok distributif), penurunan primer volume curah jantung (syok kardiogenik dan dan syok obstruktif), atau kombinasinya.
Syok hipolemik : Syok hipovolemik disebabkan oleh adanya penurunan bermakna pada volume intravaskular. Penurunan aliran balik vena (preload) menyebabkan penurunan volume pengisian ventrikel dan volume sekuncup. Jika tubuh tidak berkompensasi dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, volume curah jantung akan menurun.
Penyebab syok yang paling sering adalah perdarahan (syok hemoragik), biasanya akibat trauma, intervensi bedah, tukak peptik, varises esofageal, dan aneurisma aorta. Perdarahan dapat tampak nyata (misalnya hematemesis dan melena), atau tersembunyi (misalnya perdarahan pada kehamilan ektopik teranggu).
Syok hipovolemik juga dapat terjadi akibat peningkatan kehilangan cairan tubuh selain darah (lihat Tabel 1. Syok dan Resusitasi Cairan : Syok Hipovolemik Akibat Kehilangan Cairan Tubuh)
Tabel 1. Syok dan Resusitasi Cairan
Syok Hipovolemik Akibat Kehilangan Cairan Tubuh

Tempat Kehilangan Cairan Mekanisme Kehilangan Cairan
Kulit Luka bakar akibat suhu atau bahan kimia, kehilangan cairan lewat pengeluaran keringat akibat paparan panas yang berlebihan
Traktus Gastrointestinal Muntah atau diare
Ginjal
Diabetes mellitus atau diabetes insipidus, insufisiensi adrenal, nefritis, fase poliuria setelah terjadi kerusakan tubular akut, dan penggunaan diuretik kuat
Kehilangan cairan intravaskular ke ruang ekstravaskular Peningkatan permeabilitas kapiler sekunder akibat imflamasi atau trauma, anoksia, henti jantung, sepsis, iskemik pada usus, atau pankreatitis akut
Syok hipovolemik juga dapat terjadi akibat asupan cairan yang tidak adekuat (dengan atau tanpa peningkatan kehilangan cairan). Tubuh mungkin kekurangan air, dan keterbatasan atau gangguan status neurologis dapat mengganggu mekanisme terjadinya respon haus, atau gangguan fisik dapat mengganggu masuknya / absorbsi air oleh tubuh. Pada pasien rawat inap, hipovolemia dapat bersifat kompleks jika tanda-tanda awal insufisiensi sirkulasi disalahkenali sebagai gagal jantung dan cairan dibatasi atau diberikan diuretik.
Syok distributif : Syok distributif terjadi akibat volume intravaskular yang relatif tidak adekuat karena vasodilatasi arteri atau vena, sementara volume total darah dalam sirkulasi masih normal. Pada beberapa kasus curah jantung tinggi, tetapi peningkatan aliran darah melalui pembentukan shunt arteriovenosa di anyaman kapiler menyebabkan hipoperfusi seluler (yang ditandai dengan penurunan konsumsi O2). Pada kondisi lain, terbentuk bendungan darah pada vena-vena besar dan volume curah jantung menurun.
Syok distributif dapat disebabkan oleh reaksi anafilaksis (syok anafilaksis), infeksi bakterial dengan pelepasan endotoksin (syok sepsis), trauma atau jejas berat pada otak dan medulla spinalis (syok neurogenik), dan tidak sengaja menelan obat tertentu atau racun, seperti nitrat, opioid, dan beta bloker. Pada syok anafilaktik dan syok septik sering juga terjadi hipovolemia.
Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif : Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi di mana terjadi penurunan relatif atau absolut pada volume curah jantung akibat gangguan primer pada jantung. Faktor-faktor mekanik yang mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung atau pembuluh-pembuluh darah besar dapat menjelaskan terjadinya syok obstruktif. Penyebab-penyebab syok obstruktif dapat dilihat pada tabel 2. Syok dan Resusitasi Cairan : Mekanisme Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif.


Tabel 2. Syok dan Resusitasi Cairan
Mekanisme Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif

Tipe Mekanisme Penyebab
Obstruktif Pengaruh mekanik pada pengisian ventrikel Tension pneumothorax, kompresi vena kava, tamponade jantung, tumor atau bekuan darah pada atrium
Pengaruh pada pengosongan ventrikel Emboli pulmonal
Kardiogenik Kontraktilitas miokardial terganggu Infark miokardial atau MI, miokarditis, obat-obatan
Abnormalitas ritme jantung Takikardia, bradikardia
Kelainan atau gangguan struktural jantung Regurgitasi mitralis atau aorta akut, ruptur septum intraventrikular, malfungsi katub prostetik

GEJALA DAN TANDA
Letargi, kebingungan, dan somnolen merupakan gejala yang umum. Tangan dan kaki pucat, dingin, lembab, dan sering sianotik, demikian pula pada lobulus telinga, hidung, dan kuku. Waktu pengisian kapiler memanjang, kecuali pada syok distributif, kulit tampak kelabu atau kusam dan lembab. Diaforesis hebat dapat terjadi. Denyut nadi perifer melemah dan biasanya cepat, sering hanya denyut arteri femoralis dan arteri karotis yang teraba. Takipnea dan hiperventilasi juga dapat ditemukan. Tekanan darah dapat menurun (sistolik <90 mmHg) atau tidak terukur; pengukuran langsung melalui pemasangan kateter intraarterial, yang dapat memberikan nilai yang lebih akurat atau lebih tinggi. Produksi urine menurun.
Syok distributif memiliki gejala-gejala yang serupa, kecuali kulit tampak kemerahan dan terasa hangat, terutama selama terjadi sepsis. Denyut nadi lebih sering teraba kuat daripada lemah. Pada syok septik, demam yang biasanya diawali dengan menggigil, merupakan gejala yang umum ditemukan. Pada beberapa pasien yang mengalami syok anafilaktik ditemukan urtikaria dan wheezing. Beberapa gejala lainnya (seperti nyeri dada, dispnea, dan nyeri abdomen) dapat terjadi akibat penyakit yang mendasari syok atau akibat kegagalan fungsi organ sekunder.

DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, berdasarkan adanya bukti insufisiensi perfusi organ (obtundasi, oligouria, sianosis periferal) dan tanda-tanda mekanisme kompensasi (takikardia, takipnea, diaforesis). Kriteria spesifik untuk mendiagnosis adalah adanya obtundasi, denyut jantung >100x/menit, frekuensi pernapasan >22x/menit, hipotensi (sistolik <90 mmHg) atau penurunan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg dari normal, dan produksi urine <0,5 mL/kgBB/jam. Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis syok antara lain asam laktat >3 mmol/L, defisit dasar < −5 mEq/L, dan PaCO2 < 32 mmHg. Namun demikian, tidak satupun dari hasil laboratorium ini yang bersifat diagnostik untuk syok. Akhir-akhir ini, penentuan PCO2 sublingual telah diperkenalkan sebagai pemeriksaan noninvasif dan cepat untuk mengetahui derajat beratnya syok.
Diagnosis penyebab syok : Mengenali penyebab dasar syok lebih penting daripada mengklasifikasikan tipe syok. Seringkali penyebab syok sangat nyata atau dapat dikenali dengan cepat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis, ditunjang dengan pemeriksaan sederhana.
Nyeri dada (dengan atau tanpa dispnea) dapat mengindikasikan suatu infark miokardial, diseksi aorta, atau emboli pulmonal. Bising sistolik dapat mengindikasikan suatu ruptur septum ventrikular atau insufisiensi mitralis dari infark miokardial akut. Bising diastolik dapat mengindikasikan suatu regurgitasi aorta akibat diseksi aorta yang melibatkan arkus aorta. Tamponade jantung dapat mengindikasikan suatu distensi vena jugular, dan denyut paradoksikal. Emboli pulmonal dapat menyebabkan syok, khususnya melalui penurunan saturasi O2 dan lebih sering terjadi pada kondisi khusus, termasuk pada tirah baring dalam jangka waktu lama dan setelah menjalani prosedur pembedahan. Pemeriksaannya meliputi elektrokardiografi, troponin I, foto polos dada, analisa gas darah, CT-scan paru, helical CT, dan/atau ekokardiografi.
Nyeri abdomen atau nyeri punggung atau nyeri tekan pada abdomen mengindikasikan suatu pankreatitis, ruptur aneurisma aorta abdominal, peritonitis, dan, pada perempuan usia produktif bisa jadi merupakan suatu kehamilan ektopik terganggu. Massa pulsatil abdomen pada linea mediana dapat merupakan suatu aneurisma aorta abdominal yang mengalami ruptur. Massa adneksa yang lunak dapat merupakan suatu kehamilan ektopik. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan seperti CT-abdomen (jika pasien tidak stabil, pemeriksaan ultrasonografi bisa membantu), CBC, amilase, dan lipase, dan pada wanita usia produktif dapat dilakukan planotest.
Demam, menggigil, dan tanda-tanda fokal infeksi mengindikasikan suatu syok septik, khususnya pada pasien yang mengalami penurunan status imun. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa foto polos dada, urinalisis, CBC, serta kultur daerah luka, darah, urine, dan cairan tubuh lain yang relevan.
Pada beberapa pasien, penyebab dasar syok dapat tidak diketahui atau tersembunyi. Pasien tanpa tanda dan gejala-gejala fokal harus menjalani pemeriksaan elektrokardiografi, enzim jantung, foto polos dada, dan analisa gas darah. Jika hasil pemeriksaan ini normal, penyebab syok yang paling mungkin adalah kelebihan dosis obat, infeksi tersembunyi (termasuk syok toksik), dan syok obstruktif.
Pemeriksaan Tambahan : Jika penyebab dasar syok belum diketahui, maka pemeriksaan elektrokardiografi, foto polos dada, CBC, elektrolit serum, BUN, kreatinin, PT, aPTT, tes fungsi hati, serta fibrinogen dan produk-produk fibrin dilakukan untuk memantau status pasien. Jika status volume pasien sulit dipastikan, maka dapat dilakukan pemantauan tekanan vena sentral (central venous pressure (CVP)) atau tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)). CVP < 5 mmHg (<7 cmH2O) atau PAOP <8 mmHg mengindikasikan suatu hipovolemia. Meski demikian, nilai CVP dapat lebih besar pada pasien hipovolemia yang sebelumnya telah mengalami hipertensi pulmonal.

PROGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Syok yang tidak tertangani biasanya akan berakibat fatal. Bahkan meski mendapat penanganan, tingkat kematian pada syok kardiogenik akibat infark miokardial dan pada syok septik cukup tinggi (60 – 65%). Prognosisnya tergantung pada penyebab, penyakit yang menyertai atau komplikasi penyakit, waktu antara onset sampai diagnosis, serta penatalaksanaan yang cepat dan adekuat.

Penanganan Umum : Pertolongan pertama pada syok yaitu menjaga agar pasien tetap dalam keadaan hangat. Perdarahan dikontrol, jalan napas dan ventilasi dievaluasi, dan diberikan bantuan pernapasan jika diperlukan. Tidak ada obat-obatan yang diberikan secara oral, dan kepala pasien dipalingkan ke satu sisi untuk mencegah aspirasi jika pasien muntah.
Penatalaksanaan dari awal harus berjalan simultan dengan evaluasi. Pada keadaan ini dibutuhkan pemberian bantuan oksigen menggunakan sungkup. Pada syok derajat berat atau jika ventilasi tidak adekuat, maka dibutuhkan intubasi dengan ventilasi mekanik. Dua kateter intravena (ukuran 16-18 G) dipasang pada vena perifer. Jika vena perifer tidak dapat diakses, khususnya pada anak-anak, maka dibutuhkan akses pada vena sentral atau dengan menggunakan jarum intraosseus.
Pada umumnya, 1 L (atau 20 mL/kgBB pada anak) larutan fisiologis 0,9% diberikan melalui infus selama 15 menit. Pada perdarahan besar, cairan yang biasa digunakan adalah ringer laktat. Jika parameter klinik tidak kembali ke normal, maka pemberiann cairan harus diulang. Volume cairan yang lebih kecil (250–500 mL) digunakan pada pasien dengan tanda-tanda peningkatan tekanan sisi kanan (misalnya pada distensi vena leher) atau infark miokardial akut. Terapi cairan sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan tanda-tanda edema paru. Terapi cairan selanjutnya diberikan sesuai kondisi tertentu atau status pasien dan mungkin dibutuhkan pemantauan nilai CVP dan PAOP.
Pasien yang mengalami syok harus mendapat perawatan ICU. Pemantauan status pasien meliputi elektrokardiografi, sistolik, diastolik, MAP, frekuensi dan adekuasi pernapasan, produksi urine melalui kateter buli-buli, suhu tubuh, dan status klinik meliputi sensorik (seperti GCS), volume nadi, suhu dan warna kulit. Pengukuran CVP, PAOP, dan termodilusi curah jantung menggunakan balloon-tipped pulmonary arterial catheter dapat membantu dalam penegakan diagnosis dan penanganan awal pasien syok yang penyebabnya tidak diketahui atau pada pasien dengan syok berat, khususnya jika disertai dengan oligouria atau edema paru. Pemeriksaan berkala analisa gas darah, hematokrit, elektrolit, kreatinin serum, dan asam laktat darah juga dibutuhkan. Pengukuran CO2 sublingual, jika tersedia, merupakan media pemantauan status perfusi viseral yang noninvasif.

Karena hipoperfusi jaringan menyebabkan terhambatnya absorbsi intramuskular, semua obat-obatan parenteral diberikan secara intravena. Pemberian opioid umumnya dihindari karena dapat menyebabkan vasodilatasi, tetapi nyeri hebat dapat teratasi dengan pemberian morfin 1-4 mg IV yang diberikan dalam waktu lebih dari 2 menit dan diulangi setelah 10-15 menit jika diperlukan. Meski demikian, hipoperfusi serebral dapat menyebabkan ansietas, dan pada keadaan ini sedatif atau transquilizer tidak rutin digunakan.
Setelah resusitasi awal, penanganan spesifik ditujukan untuk mengatasi kondisi tertentu. Perawatan pendukung lainnya tergantung pada tipe syok.
Syok Hemoragik : Pada syok hemoragik, kontrol perdarahan dengan prosedur bedah merupakan tindakan primer. Penggantian volume tubuh biasanya disertai dengan kontrol bedah. Transfusi darah dilakukan pada syok hemoragik yang tidak memberi respon setelah pemberian 2 L (atau 40 mL/kgBB pada anak-anak) kristaloid. Kegagalan respon terhadap terapi biasanya menandakan volume cairan yang diberikan belum mencukupi atau tidak dikenali selama perdarahan terus berlangsung. Pemberian agen-agen vasopressor tidak dianjurkan untuk penanganan syok hemoragik jika tidak disertai dengan syok kardiogenik, syok obstruktif, atau syok distributif.
Syok Distributif : Syok distributif yang disertai hipotensi setelah pemberian awal terapi cairan dengan larutan NaCl 0,9% dapat diatasi dengan pemberian inotropik atau agen vasopressor (seperti dopamine dan norepinefrin). Pasien dengan syok septik juga sebaiknya mendapat terapi sedikitnya dua antibiotik spektrum luas. Pasien dengan syok anafilaktik yang tidak memberikan respon terhadap terapi cairan (khususnya jika disertai dengan bronkokonstriksi) dapat diberikan epinefrin 0,05-0,1 mg IV, diikuti dengan pemberian epinefrin melalui infus 5 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan dosis 10 mL/jam atau 0,02 g/kgBB/menit.


Tabel 3
Inotropik dan Katekolamin Vasoaktif

Obat Dosis Efek Hemodinamik
Norepinefrin 4 mg dalam 250 mL atau 500 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV, dengan dosis awal 5-12 g/menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2-4 g /menit -adrenergik : menyebabkan vasokonstriksi
-adrenergik : efek inotropik dan konotropik
Dopamin
400 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV, dengan dosis 0,3 mL (0,25 mg) - 1,25mL (1 mg) per menit
 2-10 g/kgBB/menit untuk dosis rendah
 20 g//kgBB/menit untuk dosis tinggi -adrenergik : menyebabkan vasokonstriksi
-adrenergik : efek inotropik dan konotropik, menyebabkan vasodilatasi
Nonadrenergik : menyebabkan vasodilatasi renal dan splanknikus
Dobutamin 250 mg dalam 250 mL dekstrosa 5% diberikan melalui infus IV dengan dosis 2,5–10 g/kgBB/menit -adrenergik : efek inotropik

Syok Kardiogenik : Pada syok kardiogenik, gangguan struktural (seperti disfungsi valvular dan ruptur septal) merupakan kelainan yang memerlukan rekonstruksi bedah. Trombosis arteri koroner dapat ditangani baik dengan intervensi perkutaneus (angioplasti, stenting), bedah pintas arteri koroner, atau trombolisis. Takidisritmia (fibrilasi atrium rapid response, takikardi ventrikular) dapat diatasi dengan kardioversi atau dengan obat-obatan. Bradikardi dapat ditangani dengan menggunakan pemacu jantung transvenosa atau transkutaneus, pemberian atropin 0,5 mg IV sampai 4 dosis dalam 5 menit dapat menunda pemasangan alat pacu jantung. Isoproterenol (2 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan dosis 1-4 μg/menit [0,25-1 mL/menit]) dapat digunakan jika atropin tidak efektif, tetapi tidak disarankan penggunaannya jika pasien menderita infark miokardial akibat penyakit arteri koroner.
Syok setelah infark miokardial akut dapat ditangani dengan pemberian terapi cairan jika PAOP rendah atau normal; nilai PAOP 5–18 mmHg dianggap sebagai nilai optimal. Jika kateter arteri pulmonal tidak pada tempatnya, pemberian terapi cairan intravena (bolus 250–500 mL larutan NaCl 0,9%) dapat dicoba bersamaan dengan pemantauan auskultasi dada untuk mewaspadai tanda-tanda kelebihan cairan. Syok setelah infark miokardial ventrikel kanan biasanya memberi respon terhadap pemberian terapi cairan, meski demiakian agen-agen vasopressor tetap dibutuhkan.
Pada hipotensi derajat sedang (misalnya MAP 70–90 mmHg), infus dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Takikardia dan aritmia biasanya terjadi selama pemberian dobutamin, khususnya bila dosis tinggi, maka dosisnya perlu dikurangi. Vasodilator (nitropusside, nitrogliserin), yang meningkatkan kapasitas vena atau menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik, akan menurunkan beban kerja pada miokardium yang mengalami kerusakan dan dapat meningkatkan curah jantung pada pasien dengan hipotensi berat. Terapi kombinasi (misalnya dopamin atau dobutamin dengan nitropusside atau nitrogliserin) dapat digunakan, tetapi pasien harus dipantau dengan elektrokardiografi serta harus dijaga hemodinamik sistemik dan pulmonalnya.
Untuk hipotensi yang lebih berat (MAP <70 mmHg), norepinefrin atau dopamin dapat diberikan untuk mencapai target tekanan sistolik 80–90 mmHg (dan bukan >110 mmHg). Balon intra-aorta sangat bermanfaat untuk mengatasi syok sementara pada pasien dengan infark miokardial akut. Prosedur ini dapat dipertimbangkan untuk mempermudah melakukan kateterisasi jantung dan angigrafi koroner sebelum dilakukan intervensi bedah pada pasien infark miokardial akut yang disertai komplikasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitralis akut berat yang membutuhkan tambahan terapi vasopressor selama > 30 menit.
Pada syok obstruktif, tamponade jantung membutuhkan tindakan perikardiosentesis secepatnya, yang dapat dilakukan di ruang perawatan. Tension pneumothorax harus segera dikompresi dengan menginsersikan kateter atau jarum ke ruang interkostal II pada linea midklavikularis. Emboli pulmonal masif dapat menyebabkan syok jika diberikan trombolisis atau dilakukan embolektomi.

POKOK POKOK PEDOMAN ASOSIASI JANTUNG AMERIKA SERIKAT Th. 2005 UNTUK RESUSITASI KARDIOPULMONAL DAN PENANGANAN KE GAWAT DARURATAN KARDIOVASKULER

Terbitan currents terbaru ini meringkas perubahan yang terkandung dalam pedoiman asosiasi jantung Amerika serikat tahun 2005 untuk resusitasi kardiopulmonal dan penanganan ke gawat daruratan kardiovaskuler, diterbitkan pada 13 desember 2005, terbitan dari jurnal sirkulasi AHA. Edisi currents ini tidak menggantikan pedoman CPR dan ECC AHA tahun 2005. ia menggaris bawahi perubahan utama dan menyediakan informasi dan penjelasan yang detail. Hal ini sangat berguna bagi instruktur dan siswa dalam praktek sebelum materi latihan tersedia. Dokumen pedoman tahun 2005 memberikan instruktur dan klinisi penjelasan tambahan tentang rekomendasi CPR dan ECC.
Terbitan currents menyangkut 3 bagian utama yang sesuai dengan ajaran ECC AHA :
1. perubahan utama yang mempengaruhi penolong
2. perubahan terhadap penolong awam CPR
3. perubahan penyedia kesehatan untuk bantuan hidup dasar dan lanjut
Banyak perubahan mayor menggaris bawahi rekomendasi baru yang paling penting yang mempengaruhi seluruh pengetahuan (kecuali resusitasi neonatus) dan seluruh penolong. Bagian penolong awam menggaris bawahi perubahan terhadap instrukur dan peserta dalam pelajaran penolong awam CPR, termasuk pertolongan pertama. Hal ini tidak menyangkut latar belakang ilmu yang luas. Bagian penyedia kesehatan, termasuk informasi tentang proses evaluasi bukti dimana pedoman terbaru didasarkan. Hal ini menggaris bawahi perubahan utama untuk bantuan hidup dasar untuk penyedia kesehatan (HCP), defibrilasi, bantuan hidup kardiovaskuler lanjut (ACLS), sindrom koroner akut (ACS), stroke, bantuan hidup lanjut pediatri (PALS) dan resusitasi neonatus. Bagian ACP termasuk dukungan pengetahuan yang lebih jelas untuk rekomendasi baru dibandiung pada bagian penolong awam.
Terbitan currents ini tidak mengandung referensi penelitian yang dipakai pada evaluasi barang bukti untuk pedoman rekomendasi. Untuk referensi yang lebih jelas lihat pedoman asosiasi jantung Amerika tahun 2005 untuk resusitasi kardiopulmonal dan penanganan ke gawat daruratan kardiovaskuler. (sirkulasi, 2005: 112: IV-1-IV-211) algoritme dan informasi obat dan pedoman 2005 juga terdapat dalam buku pegangan penanganan ke gawat daruratan kardiovaskuler tahun 2006 (buku pegangan ECC).
TANTANGAN : MENYEDERHANAKAN LATIHAN RESUSITASI DAN MENINGKATKAN EFEKTIFITAS
Penyakit arteri koroner bertanggung jawab terhadap 330.000 kematian di luar rumah sakit dan departemen emergensi di Amerika serikat setiap tahunnya. Kebanyakan orang menerima statistik perhitungan frekuensi henti jantung (SCA) diluar rumah sakit dan departemen emergensi. Namun perhitungan ini tidak komplit, saat ini henti jantung (sudden cardiac arrest) tidak dilaporkan sebagai kejadian yang jelas pada pusat pencegahan dan kontrol penyakit (CDC) serta pusat nasional untuk statistik vital. Saat CDC mulai merekam laporan SCA maka kita akan mendapat pemahaman yang lebih baik tentang insiden dari pembunuh utama ini serta pengaruh dari intervensi. Banyak korban SCA menunjukkan fibrilasi ventrikel (VF) pada beberapa titik dari arrestnya. Penanganan fibrilasi ventrikel karena SCA memerlukan CPR yang lebih awal dan syok yang timbul diatasi dengan defibrilasi. CPR penonton kualitas tinggi akan menggandakan atau meningkatkan 3 kali lipat angka harapan hidup dari henti jantung. Tetapi sayangnya kurang dari 1/3 korban SCA mendapat CPR penonton dan bahkan hanya sedikit yang mendapat CPR kualitas tinggi. Kegunaan utama dari pedoman CPR dan ECC AHA 2005 dari seluruh perubahan pada materi pelatihan AHA adalah untuk meningkatkan harapan hidup dari henti jantung yang mendapat CPR kualitas tinggi lebih awal.
Harapan hidup henti jantung di luar rumah sakit rata rata 64,4 % atau lebih sedikit dibanding laporan dari Amerika serikat dan Kanada. Berbagai faktor berepran terhadap harapan hidup yang rendah ini, dan masing masing faktor sulit untuk dikontrol pada penelitian klinis dengan setting di luar rumah sakit. Akibatnya, banyak penelitian menggunakan outcome jangka pendek seperti kembalinya sirkulasi spontan atau harapan hidup pada pengiriman ke rumah sakit.ndibanding dengan menggunakan outcome jangka panjang seperti pengeluaran dari rumah sakit oleh karena secara neurologis telah baik. Outcome campuran ini membuatnya sulit untuk dinilai jika hasil penelitian dapat digunakan pada seluruh pasien atau korban dari seluruh sistem respon emergensi. Meskipun ada berbagai tantangan, namun penelitian resusitasi harus berusaha mengidentifikasi terapi yang meningkatkan jumlah korban SCA yang meninggalkan rumah sakit hidup dengan fungsi otak yang normal.
Beberapa komunitas program penolong awam melaporkan angka harapan hidup SCA yang tinggi karena mereka memberikan CPR lebih awal dan defibrilasi awal dengan menggunakan defibrilator ekstrena yang otomatis terkomputerisasi (AEDs) yang dapat dioperasikan oleh penolong awam yang terlatih. Program penolong awam AED ini dapat berfungsi sebagai model untuk meningkatkan respon henti jantung pada komunitas lainnya. Sebuah percobaan dari ekses defibrilator publik Amerika utara menunjukkan bahwa dengan mengorganisir program penolong awam CPR dan AED akan meningkatkan harapan hidup pasien yang keluar dari rumah sakit karena VF SCA. Sebagai tambahan, program penolong awam dan penolong pertama CPR dan AED di bandara udara dan kasino dengan petugas polisi menunjukkan angka harapan hidup korban VF SCA sebesar 49 % sampai 74 %. Program ini mengajarkan pentingnya respon yang terencana dan dipraktekan serta pelatihan penolong.
PERUBAHAN UTAMA YANG MEMPENGARUHI SELURUH PENOLONG
5 perubahan utama pada pedoman tahun 2005 adalah sebagai berikut:
• perhatian terhadap rekomendasi untuk memperbaiki pemberian kompresi dada yang efektif
• resiko ventilasi –kompresi tunggal untuk semua penolong tunggal pada semua korban (kecuali neonatus)
• rekomendasi dimana setiap pertolongan, pernapasan diberikan selama satu detik dan harus menyebabkan terangkatnya dada yang jelas terlihat.
• Rekomendasi baru dimana kejutan tunggal diikuti segera dengan COR dapat dipakai untuk mencoba defibrilasi pada henti jantung ventrikel fibrilasi. Irama jantung diperiksa setiap 2 menit
• Pengesahan rekomendasi (ILCOR tahun 2003 untuk AEDs pada anak anak 1-8 tahun (dan orang dewasa); gunakan sistem reduksi dosis anak jika tersedia.
Bagian ini menampilkan gambaran perubahan utama. Perubahan juga dibicarakan pada bagian penolong awam dan penyedia kesehatan.
Perhatian Pada Kompresi Jantung Yang Efektif
2005 (baru) : kompresi dada yang efektif menghasilkan aliran darah selama CPR (kelas I). Pedoman mencatat tentang kompresi dada selaam CPR:
• Guna memberikan kompresi dada yang efektif maka seluruh penolong harus “menekan keras dan cepat”. Tekan dada pada kecepatan 100 tekanan permenit pada semua korban (kecuali neonatus)
• Biarkan dadanya kembali mengembang (kembali ke posisi semula) setelah setiap tekanan. Gunakan waktu kompresi dan relaksasi yang sama.
• Usahakan untuk membatasi gangguan pada kompresi dada. Setiap kali anda berhenti maka aliran darah akan terhenti.
2000 (lama): pentingnya kualitas dan kecepatan kompresi dada, pentingnya pengembalian dinding dada secara menyeluruh, dan perlu untuk mengurangi gangguan kompresi dada tidaklah ditekankan.
Mengapa: saat terjadi henti jantung maka tidak ada aliran darah. Kompresi dada akan menghasilkan sejumlah kecil aliran darah ke organ vital seperti jantung dan otak. Semakin bagus kompresi dadanya (kedalaman dan kecepatan yang adekuat dan menunggu dinding dadanya kembali), maka lebih banyak aliran darah yang dihasilkan. Kompresi dada yang terlalu dangkal atau terlalu lambat tidak akan mengalirkan darah yang cukup untuk organ organ vital. Saat kompresi dada terhenti, maka aliran darah berhenti. Setiap kali kompresi dada dimulai maka kompresi awal yang kecil tidak se efektif dengan kompresi berikutnya. Semakin banyak gangguan/interaksi terhadap kompresi dada, maka semakin buruk kemungkinan bagi korban untuk bertahan hidup dari henti jantung.
Penelitian pada kejadian resusitasi sebenarnya menunjukkan bahwa separuh dari kompresi dada yang dilakukan oleh penolong profesional terlalu dangkal dan kompresi dada terlalu sering terputus selama periode CPR. Rekomendasi terbaru mengingatkan penolong untuk memberikan kompresi dada yang cukup dalam dan cepat. Mereka juga mengingatkan penolong untuk meminimalkan gangguan saat kompresi dada.
Penolong diberitahu untuk menunggu sampai dada kembali normal setelah setiap kompresi karena selama masa pengembangan dinding dada, darah akanmengisi jantung. Jika penolong tidak menunggu dadanya mengembang pada setiap kompresi, maka aliran darah pada kompresi berikutnya akan berkurang, karena jantung tidak terisi darah dengan adekuat sebelum kompresi. Informasi lebih lanjut mengenai kompresi dada pada orag dewasa, anak anak dan bayi terdapat dalam bantuan hidup dasar dibawah ini.
Rasio Kompresi-Ventilasi Universal Pada Satu Orang Penolong
2005 (baru): AHA merekomendasikan rasio kompresi-ventilasi sebesar 30:2 pada satu penolong yang digunakan pada seluruh korban dari bayi (kecuali neonatus) sampai orang dewasa. Rekomendasi ini berlaku terhadap seluruh penolong awam dan seluruh penyedia kesehatan yang melakukan CPR 1 penolong
informasi tentang CPR 2 penolong, sebuah teknik yang tidak diajarkan pada penolong awam, terdapat dalam bagian ketiga “penyedia kesehatan bantuan hidup dasar dan lanjut”
2000 (lama): pada CPR orang dewasa, rasio kompresi ventilasi yang diajarkan adalah 15:2. untuk CPR bayi dan anak, rasio yang dianjurkan 5:1
mengapa: para ahli ingin menyederhanakan informasi CPR sehingga lebih banyak penolong yang mempelajari, mengingat danm melakukan CPR yang lebih baik. Mereka juga ingin memastikan bahwa seluruh penolong akan melakukan kompresi dada yang lebih lama dan tidak terputus. Meskipun para peneliti belum bisa mengidentifikasi rasio ventilasi-kompresi yang ideal. Saemakin tinggi rasio ventilasi-kompresi, maka semakin banyak kompresi dada yang dilakukan selama CPR. Perubahan ini akan meningkatkan aliran darah ke otak, jantung dan organ vital lainnya.
Dalam menit menit pertama dari VF SCA, ventilasi (misal, napas penolong) sama pentingnya dengan kompresi. Ventilasi penting pada korban dengan hipoksia arrest dan setelah henti pertama dari berbagai arrest. Kebanyakan bayi dan anak anak serta kebanyakan korban tenggelam. Overdosis obat, dan trauma yang menyebabkan henti jantung , akan mengalami hipoksia. Korban korban ini akan mendapat haraoan hidup yang terbaik jika mendapat kompresi dan ventilasi. Oleh sebab itu, CPR dengan hanya kompresi dada tidak dianjurkan sebagi teknik CPR pada penolong awam. Para ahli menyimpulkan bahwa kombinasi kompresi dan ventilasi tampaknya akan memberikan outcome yang paling bagus pada seluruh korban henti jantung.
Untuk informasi lebih lanjut lihat “CPR penolong awam dan BLS untuk penyedia kesehatan “ di bawah ini.
Rekomendasi Napas 1 Detik Pada Seluruh CPR
2005 (baru): setiap napas penolong harus diberikan selama 1 detik (kelas IIA). Rekomendasi ini berlaku pada seluruh penolong. Setiap napas penolong harus membuat dada mengembang (penolong harus mampu melihat dada mengembang),. Semua penolong harus memberi jumlah napas yang direkomendasikan. Semua penolong hendaknya menghindari pemberian napas yang berlebihan (lebih dari yang direkomendasikan) atau napas yang terlalu kuat atau besar.
2000 (lama): berbagai volume tidal direkomendasikan untuk napas penolong dengan atau tanpa oksigen. Napas diberikan selama satu sampai dua detik
mengapa: selama CPR, jumlah darah yang mengalir ke paru paru kurang dari normal, sehingga korban membutuhkan ventilasi yang lebih kecil dari normal. Napas penolong dapat dengan aman diberikan selama satu detik. Bahkan selama siklus CPR, sangatlah penting untuk membatasi waktu yang digunakan untuk menghembuskan napas penolong guna mengurangi gangguan selama kompresi dada. Napas penolong yang diberikan selama CPR akan meningkatkan tekanan dalam dada. Tekana ini akan mengurangi jumlah darah yang mengisi jantung dan selanjutnya mengurangi aliran darah yang timbul setelah kompresi dada berikutnya. Demi alasan ini, hiperventilasi tidak perlu (terlalu banyak napas atau terlalu besar volumenya) dan berbahaya karena hal ini akan mengurangi aliran darah yang ditimbulkan oleh kompresi dada. Sebagai tambahan, pemebrian napas yang kuat dan besar dapat menimbulkan inflasi gaster dan komplikasinya.
Usaha Defibrilasi :
1 Kejutan Kemudian Segera CPR
2005 (baru): saat melakukan CPR, seluruh penolong harus memberikan satu kejutan yang diikuti segera dengan CPR dan dimulai dengan kompresi dada. Seluruh penolong harus mengecek irama jantung korban setelah memberikan CPR 5 siklus (sekitar 2 menit). Setelah AED diprogram ulang oleh pembuatnya, maka mereka hendaknya menganjurkan penolong untuk mengecek irama jantung setiap 2 menit.
2000 (lama): untuk penanganan henti jantung dengan irama yang “dapat dikejut”, penolong memberikan 3 kejutan tanpa diselingi CPR di antara kejutan. Penolong memeriksa irama jantung sebelum dan setelah memberikan kejutan.
Mengapa : alasan untuk protokol baru ini didasarkan pada 3 temuan :
1. analisa irama oleh AED setelah setiap kejutan berakibat penundaan 37 detik atau bahkan lebih lama sebelum diberikan kompresi post shock pertama. Gangguan kompresi yang lama ini sangat berbahaya (lihat informasi diatas dan gambar 1)
2. dengan semakin banyaknya tersedia defibrilator, sehingga kejutan pertama menghilangkan VF lebih dari 85 %. Pada kasus dimana kejutan pertama gagal, pengulangan CPR tampaknya memberikan nilai yang lebih besar dibanding dengan kejutan lainnya.
3. bahkan saat kejutan menghilangkan VF, perlu beberapa menit bagi irama jantung normal untuk kembali dan lebih banyak waktu yang ditubuhkan jantung untuk menciptakan aliran darah. Kompresi dada yang singkat dapat mengirimkan oksgen dan sumber sumber energi ke jantung, meningkatkan kemungkinan bagi jantung memompa darah secara efektif setelah kejutan. Tidak ada bukti bahwa kompresi dada sesaat setelah defibrilasi akan memicu timbulnya VF ulangan.
Kami mengantisipasi pembuat AED akan memprogram ulang AEDs untuk mendukung rekomendasi ini. AHA mendorong pembuat AED untuk membuat alat yang dapat menganalisa irama jantung korban tanpa harus menghentikan kompresi dada.
Penegasan Ulang Pernyataan ILCOR 2005 :
Rekomendasi AEDs untuk Anak Umur diatas 1 Tahun.
2005 (baru): AEDs direkomendasikan untuk digunakan pada anak anak umur 1 tahun ke atas. Kurang bukti yang dapat merekomendasi penggunaan AEDs pada bayi di bawah 1 tahun (klass indeterminatea).
Pada keadaan kolaps anak yang tiba tiba segera gunakan AED. Pada henti jantung diluar rumah sakit, gunakan AE setelah 5 siklus CPR (sekitar 2 menit). Idealnya AED harus dapat dibuktikan (melalui penelitian) secara akurat dan dapat mengenali irama kejutan pada anak dan mampu memberikan dosis energi “anak” . saat ini banyak AED dilengkapi untuk memberi dosis yang lebih kecil melalui penggunaan paddle anak atau sebuah kunci atau alat lain untuk mengurangi energinya. Jika pada saat anda melakukan CPR pada anak (lebih dari 1tahun)dan tidak tersedia paddle AED untuk anak anak atau cara untuk memberikan dosis lebih kecil, maka dapat digunakan paddle orang dewasa. Jangan gunakan paddle anak anak atau dosis anak pada korban dewasa dengan henti jantung.
Mengapa: beberapa AEDs diketahu sangat akurat dalam mengidentifikasi irama jantung yang dapat diberi kejutan, dan beberapa diantara AEDs dilengkapi untuk memberikan dosis energi yang sesuai dengan anak anak. Penolong tidak boleh menggunakan paddle anak atau dosis anak pada orang dewasa dengan henti jantung. Hal ini karena dosis kecil tidak dapat mendefibrilasi orang dewasa.
PENOLONG AWAM CPR
Perubahan utama pada pedoman rekomendasi 2005 untuk penolong awam CPR adalah sebagai berikut :
1. jika sendiri dengan bayi atau anak yang tidak berespon, berikan 5 siklus kompresi dan ventilasi (sekitar 2 menit) sebelum menelpon 911
2. jangan membuka jalan napas dengan menggunakan cara jaw thrust pada korban cedera. Gunakan head tilt-chin lift pada seluruh korban
3. gunakan waktu selama 5-10 detik (tidak boleh lebih dari 10 detik) untuk mengecek adanya pernapasan normal pada orang dewasa yang tidak berespon atau adanya atau ketiadaan pernapasan pada anak atau bayi yang tidak berespon.
4. ambil napas normal (tidak dalam) sebelum memberi bantuan napas pada korban
5. berikan napas selama 1 detik. Setiap napas hendaklah membuat dada mengembang
6. jika dada korban tidak mengembang setelah diberi bantuan napas pertama. Lakukan head tilt- chin lift sebelum memberikan napas kedua.
7. jangan periksa adanya tanda tanda sirkulasi. Setelah memberi 2 napas bantu, segera lakukan kompresi dada ( dan siklus kompresi dan napas bantu).
8. tidak ada ajaran bantuan napas tanpa kompresi dada (pengecualian: bantuan napas dianjurkan dalam kursus bantuan pertama pediatrik Heartsaver)
9. gunakan rasio kompresi-ventilasi 30:2 pada seluruh korban
10. pada anak anak, gunakan 1 atau 2 tangan untuk melakukan kompresi dada dan tekan pada linea papilla mamma: untuk bayi, tekan dengan 2 jari pada tulang mmama tepat dibawah linea papilla mammae
11. saat memakai AED, anda memberikan satu kejutan yang segera diikuti dengan CPR dan dimulai dengan kompresi dada. Pengecekan irama jantung dilakukan setiap 2 menit
12. cara untuk menghilangkan sumbatan jalan napas (obstruksi jalan napas berat) telah disederhanakan.
13. rekomendasi pertolongan poertama yang baru telah dibentuk dengan lebih banyak informasi termasuk stabilisasi kepala dan leher korban yang cedera.
Perubahan ini didesain untuk menyederhanakan pelatihan penolong awam dan untuk menambah jumlah kompresi dada yang tidak terputus yang diberikan pada korban henti jantung. Informasi lebih jauh tentang perubahan ini tampak dibawah ini. Perubaha utama yang dirangkum lebih awal ditekankan pada bagian ini untuk kesempurnaan.
Apa Yang Tidak Berubah Untuk Penolong Awam :
• mengecek adanya respon
• letak tangan untuk kompresi dada pada orang dewasa
• kecepatan kompresi
• kedalam kompresi pada orang dewasa, bayi dan anak aank (meski ke dalaman kompresi untuk bayi dan anak anak tidak lagi dicantumkan dalam inci; hanya dijelaskan sebagai ke dalaman 1/3 sampai1/2 )
• rekomendasi umur CPR bayi, anak, dan orang dewasa
• langkah langkah penting untuk memperbaiki obstruksi jalan napas (FBAO : tersedak) untuk bayi, anak anak atau orang dewasa.
• Rekomendasi pertolongan pertama (rewording minor tentang stabilisasi kepala dan leher untuk korban cedera)
Penolong Tunggal Pada Bayi dan Anak Anak
Penolong awam memberikan 5 siklus (sekitar 2 menit) CPR pada bayi dan anak anak sebelum menelpon
2005 (baru): pada bayi dan anak anak yang tidak berespon, penolong tunggal harus melakukan 5 siklus CPR (sekitAr 2 menit) sebelum menelpon 911 dan untuk anak, mendapatkan kembali AED (tabel 1)
2000 (lama): penolong awam tunggal dengan anak dan bayi yang tidak berespon diajarkan untuk memberi CPR selama 1 menit sebelum meninggalkannya untuk menelpon 911
mengapa: pada anak anak dan bayi, henti jantung hipoksia merupakan jenis arresy yang paling sering. Kompresi-ventilasi 5 siklu (30:2) atau CPR selama 2 menit akan mengirimkan oksigen ke jantung, otak dan organ vital lain dari korban. Beberapa anak dan bayi berespon terhadap CPR awal ini. Setelah 5 siklus (sekitar 2 menit) maka penolong awam tunggal harus meninggalkan si anak untuk menelpon nomor emergensi (911)
Jalan Napas dan Pernapasan
Penolong Awam Tidak Melakukan Jaw Thrust
2005 (baru): penolong awam harus menggunakan head tilt- chin lift untuk membuka jalan napas pada semua korban yang tidak berespon meski jika korbannya cedera.
2000 (lama): penolong awam diajari menggunakan jaw thrust untuk membuka jalan napas korban yang cedera
mengapa: sangat sulit membuka jalan napas dengan jaw thrust. Sebagai tambahan, seluruh metode pembukaan jalan napas dapat menghasilkan pergerakan tulang belakang yang cedera sehingga jaw thrust tidak sama amannya dengan head tilt-chin lift. Penolong awam harus membuka jalan napas korban yang tidak berespon. Untuk menyederhanakan instruksi dan memastikan penolong awam dapat membuka jala napas, hanya head tilt-chin lift yang diajarkan ke penolong awam
Mengecek adanya Pernapasan Pada Orang Dewasa, Anak anak dan Bayi
2005 (baru): jika pemolomg awam menemukan korban dewasa yang tidak berespon, maka penolong awam harus membebaskan jalan napas selama 5-10 detik (tetapi tidak boleh lebih dari 10 detik).untuk mengecek pernapasan normal. Jika tidak ada pernapasan normal, maka penolong harus memberi 2 napas bantu.
2000 (lama): penolong awam mengecek ada atau tidak adanya pernapasan normal pada semua korban.
Mengapa: seperti tertera dalam tahun 2000, korban SCA dewasa tampak megap megap pada menit menit pertama setelah pingsan, dan penolong awam dapat menganggap korban yang megap megap ini sedang bernapas. Penolong harus napat menangani napas yang megap megap sebagai tidak ada pernapasan. Korban tidak berespon yang megap megap mungkin mengalami henti jantung dan memerlukan CPR. EMS melaporkan bahwa saat mereka memberi tahu penonton untuk melihat adanya pernapasan “normal”. Kata normal membantu penonton mengidentifikasi secara lebih baik korban dewasa yang memerlukan CPR

Langkah kerja Dewasa:< 8 Th. Anak : 1-8 Th. Bayi : < 1 Th
Jalan napas Head tilt-chin lift
Napas awal 2 napas dengan 1 detik/ napas
Obs. Benda asing jalan napas Abdominal Thrust Back Slaps + Chest Thrust
kompresi
Tempat kompresi Ditengah dada diantara puting Dibawah puting
Metode kompresi tekan keras dan cepat membuat. Biarkan dadanya kembali 2 tangan : 1 tangan dibawah yang lain diatas 2 tangan : 1 tangan dibawah yang lain diatas, atau
2 tangan : tekan 1 tangan saja 2 jari
Kedalaman kompresi 1 ½ - 2 inchi Sekitar 1/3 – ½ kedalaman dada
Kecepatan kompresi Sekitar 100 kali/menit
Defibrilasi
AED Gunakan Paddle dewasa. Jangan pakai paddle anak/sistem anak Pakai setelah 5 siklus CPR. Gunakan paddle/sistem anak untuk anak 1-8 th. Jika tdk tersedia, gunakan paddle dan AED dewasa Tidak ada rekomendasi untuk bayi< 1 tahun

Tabel 1. Ringkasan Penolong awam untuk orang dewasa, anak anak dan bayi
(neonatus/newborn tidak dimasukkan)
Sebagai contoh, saat EMS menanyai penonton apakah korban bernapas, ternyata penonton sering mengatakan ya bahkan pada saat korban sedang megap megap. Jika pelatih menanyakan apakah korban yang sama bernapas secara “normal”, maka penonton berkata tidak dan mampu mengenali bahwa korban pelru CPR. Sangat penting bagi penolong awam untuk mengetahui kapan CPR dibutuhkan
Megap megap tidak sering pada bayi dan anak anak dengan henti jantung dibanding pada orang dewasa. Anak anak memperlihatkan bentuk pernapasan seperti napas yang cepat atau mendengkur yang tidak normal tetap cukup adekuat. untuk alasan ini, penolong awam bayi dan anak anak tidak diajar untuk mengetahui pernapasan yang normal dan yang abnornal. Mereka harus mencari ada tidaknya pernapasan. Mereka harus menentukan hal ini dalam waktu 10 detik jika bayi atau anak bernapas atau tidak.
Penolong Harus Mengambil Napas Normal Sebelum Memberi Napas Bantu
2005 (baru) : semua penolong harus mengambil napas normal (bukan napas dalam) sebelum memberikan napas bantu dari mulut ke mulut atau mulut ke alat.
2000 (lama): penolong diperintahkan mengambil napas dalam sebelkum memberikan napas bantu dari mulut ke mulut atau mulut ke alat
mengapa: melakukan napas dalam sebelum memberi naaps bantu tidaklah perlu. Penolong harus mampu memberi napas yang membuat dada mengembang tanpa melakukan napas dalam.
Berikan Napas Bantu Selama 1 Detik
2005 (baru) : semua penolong harus memberi napas bantu (dengan atau tanpa alat) selama 1 detik
2000 (lama): penolong dianjurkan memberi napas bantu selama 1-2 detik.
Mengapa: napas bantu dapat diberikan selama 1 detik. Semakin pendek waktu yang diperlukan untuk memberi napas, maka semakin cepat bagi penolong melakukan kompresi dada. Napas yang lebih panjang dapat mengurangi darah yang kembali ke jantung sehingga akan mengurangi aliran darah yang dihasilkan oleh kompresi dada berikutnya.



Buka Kembali Jalan Napas Jika Napas Pertama Tidak Membuat Dada Mengembang
2005 (baru): saat penolong awam memberi 2 napas bantu, setiap napas bantu harus membuat dada mengembang (penolong harus mampu melihat dad mengembang). Jika napas pertama tidak membuat dada mengembang maka penolong harus melakukan head tilt-chin lift sebelum memberikan napas bantu kedua
2000 (lama): meskipun penolong diajarkan bahwa setiap hembusan napas harus bisa membuat dada mengembang, namun penolong awam tidak diberi instruksi apa yang harus ia lakukan jika napas bantu tidak membuat dada mengembang.
Mengapa: tujuan perubahan ini ialah untuk memberi instruksi yang jelas bagi penolong awam yang mencatat bahwa dada korban tidak mengembang saat napas bantu pertama diberikan. Napas bantu sangat berguna pada bayi dan anak anak yang tidak bernapas, karena anak anak dan bayi tidak dapat bernapas dengan baik bahkan sebelum terjadinya henti jantung. Penolong harus memberi 2 napas efektif (napas yang membuat dada mengembang). Jika dada tidak mengembang setelah hembusan pertama, maka dengan melakukan head tilt-chin lift dapat membuat jalan napas terbuka. Penolong awam tidak boleh mencoba lebih dari 2 kali memberi napas bantu yang membuat dada mengembang, karena sangat penting untuk memberikan kompresi dada.
Menyederhanakan CPR Penolong Awam
Tidak ada Penolong Awam yang Mengecek Tanda tanda sirkulasi
2005 (baru) setelah memberikan 2 napas bantu selanjutnya penolong awam memulai siklus 30 kompresi dada dan 2 napas bantu. Penolong awam harus melanjutkan kompresi dan napas bantu sampai AED tiba, korban dipindahkan dan responder profesional mengambil alih
2000 (lama): setelah memberikan 2 napas bantu, penolong awam mengecek tanda tanda sirkulasi (bernapas, batuk, bergerak). Jika tidak ada tanda tanda sirkulasi penolong memulai kompresi dada. Penolong awam dianjurkan untuk mengecek ulang tanda tanda sirkulasi setiap beberapa menit
mengapa : pada tahun 2000 AHA menghentikan pemberian rekomendasi bagi penolong awam untuk mengecek adanya denyut nadi. Karena penolong awam tidak dapat melakukan hal ini dalam waktu 20 detik. Penolong awam diperintahkan untuk mencari tanda tanda sirkulasi. Tidak ada bukti bahwa penolong awam dapat menilai tanda tanda sirkulasi dengan akurat, tetapi langkah ini menunda kompresi dada. Penolong awam tidak boleh mengecek tanda tanda sirkulasi dan tidak boleh menghentikan kompresi dada hanya untuk mengecek ulang adanya tanda tanda sirkulasi.
Tidak Ada Napas Bantu Tanpa Kompresi Dada
2005 (baru): segera setelah memberikan 2 napas bantu, penolong awam memulai siklus 30 kompresi dada dan 2 napas bantu. Penolong awam tidak akan diajar napas bantu tanpa kompresi dada (kecuai kursus pertolongan pertama pediatri Heartsaver)
2000 (lama): setelah memberi 2 napas bantu, penolong awam mengecek adanya tanda tanda sirkulasi (bernapas, batuk atau bergerak) penolong awam diperintahkan memberi napas bantu tanpa kompresi dada pada korban korban dengan adanya tanda tanda sirkulasi tetapi tidak ada pernapasan normal.
Mengapa : penghapusan napas bantu tanpa kompresi dada akan mengurangi jumlah keterampilan CPR penolong awam yang harus dipelajari, diingat dan dilakukan. Perubahan ini juga menghilangkan perlunya memeriksa korban setelah bantuan napas awal, menyebabkan kurangnya waktu tunda sebelum memberikan kompresi dada yang pertama
Rasio Kompresi-Ventilasi 30:2 Pada Seluruh Korban
2005 (baru): AHA merekomendasikan rasio kompresi-ventilasi 30:2 bagi seluruh penolong awam untuk digunakan pada semua korban dari bayi (kecuali yang baru lahir ) sampai orang dewasa.
2000 (lama): untuk CPR orang dewasa rasio yang direkomendasikan adalah 15:2. untuk bayi dan anak anak rasio CPR kompresi-ventilasi yang digunakan adalahh 5:1
mengapa: para ahli ingin menyederhanakan informasi CPR sehingga lebih banyak penolong yang akan memperlajari, mengingat dan melakukan CPR. Sebagai tambahan, mereka ingin menyakinkan bahwa semua penolong akan melakukan kompresi dada yang lebih lama. Perubahan ini mestinya meningkatkan aliran darah ke jantung, otak dan organ vital lainnya.
Menyederhanakan Instruksi Kompresi Pada Anak dan bayi
2005 (baru): penolong dapat menggunakan 1 atau 2 tangan untuk melakukan kompresi dada pada anak anak. Penolong harus menekan tulang mamma tepat di atas putting. Pada kompresi bayi, penolong harus menekan tulang mamma tepat di bawah putting.
2000 (lama): kompresi satu tangan dianjurkan pada1/2 bawah sternum anak dan 1 jari di bawah putting
mengapa: penolong dan anak anak bisa berbeda beda. Pada anak anak penolong harus menggunakan satu atau dua tangan untuk menekan dada sedalam 1/3 atau ½ jika dipakai dua tangan. Penempatan tangan sama dengan penempatan tangan untuk kompresi dada orang dewasa (perbedaannya terletak pada kedalaman kompresi dada). Perubahan ini dibuat untuk menyederhanakan instruksi.
Pada bayi, penolong harus memakai 2 jari untuk menekan tulang mamma tepat di bawah putting. Perubahan ini dilakukan karena penolong dan bayi ukurannya berbeda beda, dan pemakaian satu jari penolong berakibat kompresi pada tempat yang berbeda beda. Perubahan ini untuk menyederhakan instruksi.
Berikan Kejutan Dengan AED :
Beri satu kejut lalu CPR
2005 (baru): saat menggunakan AED, smeua penolong harus memberikan satu kejutan yang segera diikuti dengan CPR. Cpr harus dinilai dengan kompresi dada. Semua penolong harus memberikan waktu bagi AED untuk mengecek irama jantung korban setelah 5 siklus CPR (sekitar 2 menit)
2000 (lama): penanganan henti jantung dengan irama “dapat dikejut”, penolong memberikan 3 kejutan, penolong melakukan CPR selama 1 menit dan kemudian mengecek irama jantung.
Mengapa: saat AED mengecek ulang irama setelah sekali kejutan. Hal inimenunda kompresi dada. Kebanyakan defibrilator baru mampu mengatasi VF dengan seklai kejutan, sehingga VF tidak akan muncul segera setelah kejutan diberikan, sehingga sulit untuk membenarkan penghentian kompresi dada untuk mencari tahu adanya VF yang kemungkinan tidak akan muncul. Sebagai tambahan, setelah kejutan menghilangkan VF, kebanyakan jantung tidak memompa darah secara efektif selama beberapa menit setelah kejutan. Kompresi dada diperlukan selama periode ini untuk menyediakan darah yang mengalir ke jantung, otak dan organ vital lainnya. Jika VF tetap ada setelah kejutan, maka kompresi dada akan mengirimkan darah ke jantung. Hal ini membuat VF akan hilang ada kejutan berikutnya.



Menyederhanakan Instruksi Dalam Menghilangkan Obstruksi Jalan Napas oleh Benda Asing.
2005 (baru): istilah yang dipakai untuk memisahkan korban tersedak yang memerlukan intervensi (misal , abdominal thrust) dengan yang tidak, telah disederhanakan sebagai obstruksi jalan napas ringan atau berat. Penolong harus bertindak jika melihat adanya obstruksi jalan napas berat: pertukaran uadar yang sangat kurang dan meningkatnya kesulitan bernapas, batuk, sianosis, atau ketidak mampuan berbicara atau bernapas. Penolong harus menanyakan “apakah anda tersedak”, jika korban mengangguk ya, maka bantuan dibutuhkan. Penanganan tersedak lainnya tidak ada perubahan.
2000 (lama): penolong di ajar untuk mengenali obstruksi jalan napas parsial dengan pertukaran udara yang bagus obstruksi jalan napas parsial dengan pertukaran udara yang kurang dan obstruksi jalan napas total. Penolong diajar untuk menanyakan 2 pertanyaan “apakah anda tersedak” dan “dapatkah anda berbicara”.
Mengapa : tujuan perubahan ini adalah sebagai penyederhanaan. Tujuan menggunakan obstruksi jalan napas ringan dan berat untuk membantu penolong mengetahui kapan harus beraksi. Penghapusan satu pertanyaan mempermudah kerja penolong.

Pertolongan Pertama
Ini merupakan pedoman kedua untuk pertolongan pertama dan pedoman pertama yang dibantu oleh asosiasi jantung Amerika dan palang merah Amerika. Pedoman pertolongan pertama menjelaskan rekomendasi untuk penilaian dan intervensi ynag diharapkan dipakai oleh penonton atau korban yang tidak mempunyai peralatan medis. Topik yang dibahas pada pedoman pertolongan pertama adalah :
• Pemakaian oksigen (baru dalam tahun 2005)
• Pemakaian inhalers (baru dalam tahun 2005)
• Pemakaian auto injektor epinefrin (baru dalam tahun 2005)
• Kejang (dibahas dalam tahun 2000 dan 2005)
• Perdarahan (dibahas dalam tahun 2000 dan 2005)
• Luka dan lecet (baru dalam tahun 2005)
• Luka bakar, thermal, dan elektrik (dibahas dalam tahun 2000 dan 2005)
• Trauma muskuloskletal (dibahas dalam tahun 2000 dan 2005)
• Cedera gigi (baru dalam tahun 2005)
• Gigitan ular (baru dalam tahun 2005)
• Ke gawat daruratan dingin – hipotermia dan frosbite (baru dalam tahun 2005)
• Keracunan kimia dan ingestan (dibahas dalam tahun 2000 dan 2005)
Secara umum rekomendasi yang dibuat tahun 2000 dipertegas pada tahun 2005. pengecualian pada modifikasi wording yang dipakai untuk stabilisasi tulang belakang pada korban cedera dan posisi pemulihan yang dianjurkan pada korban dengan kemungkinan cedera tulang belakang. Rekomendasi yang diringkas disini menggaris bawahi rekomendasi terbaru dan tidak termasuk yang menegaskan pedoman tahun 2000.

Tidak Cukup Bukti Untuk Merekomendasikan Penggunaan Oksigen Dalam Pertolongan Pertama
2005 (baru) : tidak cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan atau penolakan oksigen sebagaiu pertolongan pertama .
mengapa : satu satunya penelitian yang diterbitkan tentang pemakaian oksigen melibatkan penyedia kesehatan. Tidak ada bukti tentang penggunaan pertolongan pertama dengan oksigen.

Rekomendasi : Pemakaian Inhaler Asma dan auto injektor epinefrin.
2005 (baru):penyedia pertolongan pertama menolong korban asma dengan inhaler yang diresepkan dokter. Penyedia pertolongan pertama menolong korban dengan reaksi alergi berat (anafilaksis) dengan menggunakan auto injektor epinefrin. Penyedia pertolongan pertama akan menyuntikkan epinefrin jika ia diajarkan hal tersebut. Hukum negara membolehkan hal tersebut dan jika korban tidak bisa menyuntik sendiri.
Mengapa: kematian karena asma telah meningkat, dan obat obat dalam inhaler dapata mengurangi kesulitan bernapas akibat asma. Epinefrin yang diberikan melalui auto injector tidak menyebabkan bahaya pada mereka dengan kesulitan bernapas akibat asma atau reaksi alergi, dan obat obat ini dapat mencegah komplikasi yang mengancam nyawa.
Penanganan Luka dan Lecet
2005 (baru): penyedia pertolongan pertama harus mencuci luka dengan air mengalir yang bersih selama 5 menit atau lebih. Ia harus mencuci luka atau lecet sampai luka menunjukkan tidak ada tanda tanda benda asing. Jika tidak ada air mengalir, penolong dapat menggunakan sumber air bersih lainnya. Jika lukanya berupa lecet atau berada dipermukaan, maka penolong dapat mengoleskan salep atau kream antibiotik.
Mengapa : air mengalir yang bersih dapat bekerja untuk membersihkan luka dan mencegah infeksi serta membantu penyembuhan. Luka superficial yang kecil dapat sembuh dengan baik jika diolesi dengan kream atau lotion antibiotik.